11. Ingkar Janji

5.4K 1.1K 53
                                    

Cantika tidak punya jawaban tepat untuk kebohongan yang baru saja terbongkar oleh Pahlevi. Jantungnya melorot ke mata kaki. Malunya sampai ubun-ubun. Keanggunan bak wanita tercantik satu negeri seolah lenyap ditelan bumi. Brain dan beauty masih terselamatkan. Namun, kategori behavior tak lagi bisa dipertahankan. Mengapa Allah tak sekejap menyimpankan aib Cantika dari Pahlevi? Adakah alasan dibalik terungkapnya satu per satu kepura-puraan perempuan itu? Atau, setidaknya, Pahlevi tak perlu berkata-kata mengingatkan dosa yang Cantika lakukan. Dosa dia banyak dan dia masih ingat betul. Jadinya, si Cantik kan tak malu-malu amat.

"Mau kemana?"

"Belakang panggung. Gue masih belum beres wawancara."

Pahlevi menghadang langkah Cantika dengan badan besarnya yang jika dibandingkan, mencapai 2 kali lipat berat Cantika.

"Tunggu!"

Cantika mendengus kesal. Remang malam yang hanya dihiasi lampu sorot panggung, lightstick penonton dan beberapa pencahayaan di sudut tribun tak mampu menyembunyikan malu Cantika. Sebagai perempuan yang punya pengendalian bagus, ia berakting seolah tak pernah terjadi apapun di antara mereka berdua, meski sepertinya Pahlevi tidak bisa ditipu.

"Kenapa lagi? Ntar gue kehilangan mereka."

"Ikut gue! Lo bisa wawancara eksklusif. Telepon Jessi sama Shandy sekarang!"

Binar di wajah Cantika terbit tanpa perintah. Sekejap saja, karena lantas ia tak mau Pahlevi besar kepala lantaran begitu mudahnya meluluhkan hati Cantika. Paras ayu itu memalingkan wajah.

"Oke," patuhnya lirih.

------------------

"Udah selesai?"

"Selesai. Makasih banyak ya?" Cantika memasukkan voice recorder pribadinya ke dalam tas sembari berjalan cuek menuju parkiran melalui jalan setapak luar stadion. Pahlevi ternyata masih menunggu di luar ruang tunggu artis. Mata Jessi tinggal setengah watt. Pun Shandy yang sejak tadi merilekskan tangan gara-gara pegal. Mereka tak ingin menunda waktu lagi untuk sampai hotel. "Lo belum pulang? Masih mau ketemu Okan?"

"Nungguin lo. Okan nanti gampang gue telepon lagi."

Sudah diduga. Ini tahapan selanjutnya fase pendekatan lelaki pada perempuan. Mepet-mepet.

Cantika gemas. Pantang menyerah juga Bocah Gondrong ini? Waktunya ia menggertak lelaki beda usia sekitar 9 tahunan lebih muda darinya.

Lelah memuncak, pikiran yang penuh dengan spekulasi tak jelas, juga demi Allah, ini hampir pukul 1 malam, membuatnya tak bisa menunda kekesalan. Diikuti terus-terusan bak induk ayam oleh anak-anak kuningnya.

Cantika berbalik, ketika Pahlevi masih setia berjalan di belakangnya. Pria itu selalu memberi jarak aman 2 meter. Tidak terlalu jauh pun dekat.

Kelopak mata Cantika harusnya telah cekung jikalau concealer tak lagi mampu menahan hingga petang. Ia juga kegerahan sejak tadi. Berbeda dengan dokter forensik gagah di depannya. Meski rambut itu hanya diikat sederhana, brewok dan kumis yang lebih rapi, juga tampilan sederhana serba hitam, ia jauh lebih segar dibandingkan Cantika. Hebatnya, pemilihan sepatu kali ini, Cantika anggap tepat. Pahlevi mengenakan sneakers putih bersih di kaki-kaki raksasanya.

"Oke, Athar."

Pahlevi menggeleng.

"Levi!" balasnya.

"Apa bedanya sih?"

"Beda."

"Banyak maunya ya?" Cantika menyedekapkan kedua lengan. Jessi dan Shandy yang melihat keduanya seperti akan bicara empat mata, mendahului menuju mobil. Cantika menarik nafas, berbicara bijak bak kakak yang baik. "Oke, Levi. Sebenernya kalau dipikir-pikir kita ini baru kenal satu atau dua minggu kan?" Cantika menggaruk pelipis, mengingat-ngingat kembali awal pertemuan mereka. "Sekalian aja sekarang, ada yang mau gue konfirmasi ke lo. Besok gue pulang dan gue cuma mau tahu alasan lo, kenapa ngikutin gue teruus??"

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin