41. Relawan dan Pemburu Berita

3.7K 797 35
                                    

"Kamu nginap dimana?"

Lelaki berkaos kasual, rompi tanpa lengan, juga topi rimba warna coklat susu, berjalan bersisian Cantika. Mereka mengikuti Jessi dan Shandy yang jalan lebih dulu, sambil meributkan rencana curi-curi vacation saat tugas selesai nanti.

Wawancara bersama narasumber volunteer tuntas tanpa debat kusir, yang seringnya membuat kepala Jessi pusing 7 keliling. Antara Cantika dan Pahlevi sama-sama kooperatif.

Malam makin pekat.

Usai mengambil gambar kondisi pengungsian di balai desa Glagaharjo, mengamati pemeriksaan kesehatan para warga oleh tim Doctorcharity kerjasama puskesmas setempat, juga makan malam bersama, Cantika memutuskan untuk pulang beristirahat sejenak. Shandy yang akan stand by di sekitaran sini bersama awak media lain. Berjaga jika sewaktu-waktu ada kejadian terbaru.

"Villa Kemuning. Nggak jauh dari sini. Lo dimana?

"Di sini. Bareng anak-anak. Gampang."

Pahlevi menengok ke salah satu teras warga. Benar saja. Di sana banyak pria berseragam sama, yang sedang berkumpul. Gelas-gelas kopi ramai di atas meja.

"Rudi nggak ikut?"

"Dia kebagian tugas di Klaten."

Cantika mengangguk-angguk mengerti. Obrolan keduanya mendadak kaku seharian ini. Setelah bulan lalu, dirinya sendiri yang menolak niat baik kedatangan Pahlevi ke rumah. Menemui Papa Miko demi meminta kesempatan, meyakinkan anak perempuannya tentang pernikahan. Jika sejatinya, trauma perceraian terjadi bukan karena salah ikatannya. Melainkan, pribadi yang menjalani.

Saat sosok Pak Rahmat dengan mobil berstiker ATV kian nampak dari kejauhan, Cantika kembali membuka suara.

"Gue balik dulu."

Cantika berjalan ngebut. Makin cepat kabur, makin baik. Jangan sampai si Gondrong yang rambutnya terikat rapi itu, membahasnya kembali.

"Tik?" panggil Pahlevi.

Cantika perlahan berbalik ketika tangannya hampir membuka pintu. Sebelum Jessi dan Shandy mengerling menggoda melalui dalam kaca mobil.

"Hmm?"

"1 menit."

Cantika menghela nafas. Wajahnya tertunduk mendekati Pahlevi. Berjalan lesu, menjauhi kendaraan yang seharusnya telah membawanya pergi.

“Sebenarnya, aku nggak mau maksa kamu. Tapi aku juga tahu isi hati kamu dari semua gesture kamu, Tik.”

Cantika membuang muka. Menyembunyikan ekspresi wajahnya sendiri. “Sok tahu," balasnya lirih.

"Pertimbangkan baik-baik ya, tawaranku waktu itu? Suatu saat, aku akan bilang lagi dan itu kesempatan terakhir. Kamu harus punya jawabannya."

------

"Bisa nggak, aku ngomong berdua aja sama kamu?"

Rais menyejajari Cantika ketika pintu Pengadilan Agama terbuka. Sidang pertama gugatan selesai tepat pukul 11 siang. Tangan Rais meraih lengan Cantika yang langsung ditepis. Perempuan itu mulai sungkan. Matanya mengedar. 4 anggota tim pengacaranya tampak mengamati secara tersirat dari koridor. Juga, Gamma yang kemudian mendekat.

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang