[Bonus Chapter] Us

301 77 14
                                    

Halo, ini Resha. Sudah lama sekali, ya, sejak terakhir kali aku datang dan bercerita di sini.

Sudah lebih dari satu tahun sejak acara reuni dengan anak-anak kelas F. Sudah selama itu pula pesan itu tersemat di arsip pesanku.

Ingat tidak, malam itu, saat seseorang meminta sebuah kesempatan? Aku tidak memberinya. Aku belum siap, untuk apapun di antara kami saat itu.

Aku tahu bagaimana dia akan bersikap setelahnya. Sangat tahu betapa mudahnya dia menyerah dan menghilang seakan tidak terjadi apa-apa.

Sebenarnya setiap hari aku menunggu. Sekiranya roomchat itu akan terisi oleh pesan lain darinya atau dariku. Tapi nihil. Sekali lagi, aku paham kemana semuanya berjalan. Ya, benar. Tidak kemana pun. Tidak ada waktu yang dihabiskan bersama. Tidak ada hari-hari yang dipenuhi sesuai ucapannya.

Sempat aku berpikir untuk memulai. Kala tidak ada satupun orang yang bisa kukirimi pesan di akhir pekan, kala aku merasa begitu sendirian, kala aku hanya mempertanyakan kenapa aku masih mengingatnya.

Aku hanya bermain dengan takdir dan kebetulan. Konyol sekali memang.

Namun dari sinilah kesempatan tercipta. Aku punya alasan untuk menatap matanya, memberi senyum tipis, dan merasakan sesuatu yang seakan bertabrakan di dalam diriku.

Biar kuberitahu, kami sedang di acara pertunangan Arif dan Gevi. Jangan terkejut, aku sudah membocorkan rahasia ini sejak kami masih di SMA, kalau kalian ingat. Akupun tidak akan bercerita tentang mereka, biar mereka sendiri yang bercerita jika ada kesempatan.

Pesta pertunangan yang terlalu mewah bagiku, menjadi tempat paling emosional yang malam itu aku rasakan.

Dia datang. Wajah dingin yang tak pernah berubah menghangat, tatapan sendu dari sorot yang tajam, senyum tipis yang aku tidak tahu apakah masih pelit dia berikan atau tidak.

"Lo sendirian?" Arif melempar tanya padanya.

Aku menunggu jawabannya sedikit berharap dia sendirian. Dan saat dia melempar tatapannya padaku, dia mengiyakan dengan tegas meski pelan.

Entah untuk alasan apa, aku merasa lega.

Sepanjang acara, aku tak banyak berinteraksi. Rasanya melelahkan sekali. Aku harus lembur dan tidak tidur dari kemarin. Wajar, bukan, kalau aku tidak bisa terlalu fokus meskipun sangat senang dengan keberhasilan hubungan dua sahabatku?

Dan rasanya semangatku jatuh entah kemana. Kepalaku berisi penyesalan akan gengsi yang teramat besar dan keragu-raguan yang tak pernah hilang.

Dia tidak berbicara padaku sama sekali.

Mungkin sekitar setengah jam sebelum acara selesai, aku memilih pamit karena rasanya hampir ingin pingsan.

"Gue suruh supir gue anterin lo, ya? I'm sorry, Sha. Sekarang lo pulang dan tidur aja, oke?" Gevi memberiku pelukan dan usapan hangat di punggung.

Aku menatap Gevi cukup lama dengan masih berada di rengkuhan kedua tangannya. Membiarkannya tahu bahwa saat itu, sejujurnya, aku sangat bahagia dan bersedih di saat yang sama.

"Dia gak ngomong sama sekali," ucapku. Gevi melempar pandang ke belakangku sekilas sebelum membiarkan jari-jarinya merapikan rambut di dahiku. Dia selalu selembut ini, asal kalian tahu.

"Then talk to him first," katanya. Saat itu aku masih memandangi wajah cantik Gevi dan merasakan sudut mataku membasah. Mungkin ini rasanya berbahagia namun merasa kehilangan saat sahabatmu menikah?

Aku menggeleng pelan dan memberi senyum selamat pada Gevi setulus-tulusnya. Betapa aku bersyukur memiliki Gevi dan berharap Tuhan memberinya kebahagiaan selalu.

CLASS FWhere stories live. Discover now