F-31

1.5K 242 6
                                    

Stranger

•••

“Tumben pulang jam segini. Gak ada bimbel, Sha?” istri papa berseru. Aku berhenti berjalan untuk sedikit menghargainya. Wanita itu tersenyum, menjeda yang sedang dilakukannya seolah menunggu jawabanku.

Aku mengangguk sekali.
Wanita itu tersenyum lagi. “Mau makan sekarang? Atau nunggu papa pulang?”

Merasa canggung karena kami berbicara sambil berdiri, aku berjalan menuju kulkas. Dari sudut mataku, wanita itu mengikutiku ke dapur. “Tadi mama bikin lava cake. Coba kamu cobain rasanya. Mama lagi puasa jadi gak dicobain tadi.”

Di depanku, ada dua loyang ukuran sedang berisi kue coklat itu. “Satunya buat kamu aja. April kan gak suka coklat,”

Aku masih berdiri di depan kulkas dengan pintunya yang terbuka. Lava cake coklat itu seakan menggodaku saat nada suara seorang ibu di rumah ini, bisa terdengar manis di telinga.

“Makasih,” ucapku seraya mengambil satu loyang dari kulkas. Saat aku hendak pergi, dia menahanku.

“Sendoknya ketinggalan,”

Aku mengambil sendok yang diulurkannya, lantas pergi menuju kamar. Rasanya tidak nyaman, melihat seseorang tersenyum terus ketika aku bahkan tidak punya niatan beramah tamah dengannya. Lama-lama ngeri juga. Maksudnya, semakin dia bersikap baik saat aku tidak mengacuhkannya, semakin aku ragu dengan ketulusannya.

•••

Try Out berlangsung dengan agak lancar. Maksudnya, ya seperti biasa. Belajar sekeras apa pun, soal-soal menyebalkan itu tetap membuat kami menggaruk kepala yang sebenarnya memang gatal. Klimaksnya, hujan deras yang datang tak diduga membuat bisik-bisik kami kalah keras dari suaranya. Mungkin ini merupakan hasil kerjasama Tuhan dengan para guru dan siswa-siswa cerdas untuk meminimalisir kecurangan. Aku berusaha maklum.

“Ini baru TO, tapi soal-soalnya udah ngaco. Gimana UN? Katanya, soal UN malah lebih melenceng dari yang kita pelajarin di kelas.” keluh Mira.

Sambil membereskan alat tulis, aku mencuri pandang kepada siapa Mira bicara. Saat kulihat Alana ternyata teman bicaranya, entah kenapa aku menunggu responnya. Dia berdiri dan berjalan menuju pintu tanpa membalas satupun racauan Mira di sampingnya. Kalau dilihat-lihat, Alana memang tidak terlalu banyak bicara dibandingkan kelompoknya. Saat mengobrol, aku lebih sering melihat Alana sibuk dengan ponsel. Saat mereka tertawa, Alana juga tidak selalu sampai terbahak seperti yang lain.

Padahal kalau diingat-ingat, dia adalah tipe orang yang akan bernyanyi lagu ‘Happy Birthday’ setiap kali cuci tangan. Orang paling kencang teriaknya saat Kin menjebol gawang lawan saat main sepakbola. Yang dulu paling sering teriak dari gerobak tukang siomay ke tempat duduk pembeli, hanya untuk bertanya aku mau pilih kol atau kentang rebus.

“Earth to Resha! Hello!”

Jentikan jari di dahi menyentakku. Orang yang tidak merasa berdosa atas kesalahannya itu justru duduk santai di atas meja di depanku. Ia hanya menyeringai mendengar ringisanku. Sumpah, perih banget.

“Bukannya minta maaf, malah cengengesan!” rutukku.

“Gue gak cengengesan. Ngapain?”

Melihat sekeliling kelas sudah tak berpenghuni selain kami, aku bergegas memakai tas. Namun dengan sigap, tangannya mencekalku. “Mau kemana? Duduk dulu,”

“Apa sih, Fajaaaar?” Aku tahu tidak seharusnya aku bicara dengan nada jengkel seperti ini. Namun tiba-tiba, ucapan Andre waktu itu berputar di kepalaku. Aku sadar betul seberapa bermasalahnya orang ini, namun di sisi lain diriku justru bersikap seolah dia normal-normal saja seperti yang lain.

CLASS FOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz