F-14

2.2K 324 23
                                    

Best Buddy

•••

Aku pernah membaca sebuah kutipan yang kira-kira kalimatnya seperti ini; jika kamu punya teman baik yang mana kamu bisa menceritakan apapun dan dia tidak pernah menghakimimu, jangan pernah lepaskan dia.

Bertahun-tahun kupercayai kalimat itu sebagai pegangan untuk mempertahankan seseorang. Setidaknya jika dia menerimaku sebagai diriku sendiri, aku akan tetap membiarkannya berada di sekitar tanpa niatan untuk menghindar. Namun perlu tetap mengingat untuk tidak terlalu dekat. Cukup sekali aku pernah menggenggam erat tangan seseorang, untuk kemudian dia hempas begitu saja hanya karena satu kesalahan.

Aku tidak ingin kejadian seperti itu terulang.

Tapi terlambat. Aku terlalu nyaman berjalan beriring dengan salah satunya, hingga lupa ketidakcocokkan bisa saja membuat salah satu menjaga jarak. Jarak yang jika dilihat, hanya diisi dengan kekecewaan.

"Ketua kelas lo kaya cewek tau nggak," Andre bersuara setelah mendengar ceritaku tentang penolakan Arif terkait bantuan dari Andre minggu lalu. "Tapi jangan terlalu khawatir. Nanti gue bantu ngomong sama Pak Izal deh, ya. Gimana?"

Aku menoleh padanya sekilas dan kembali menatap dinding di sebrang kolam renang rumah Andre. Bayanganku di sana jadi sebesar ondel-ondel setelah memakai jas miliknya. Suara riuh obrolan manusia yang bercampur dengan alunan musik di halaman belakang terdengar sampai ke sini. Setelah mengikuti papa beserta istri dan anaknya menemui keluarga Andre untuk mengucapkan selamat pada mereka, Andre dengan kepekaan cukup memenuhi rata-rata membawaku kemari. Ia ingin membiarkan orangtuanya menikmati hari istimewa untuk peringatan pernikahan mereka juga membiarkan kakaknya menjadi bintang utama untuk dikenal rekan kerja sang ayah. Dalihnya sih begitu.

Berkali-kali Andre membantu memberikan solusi mengingat penolakan Arif belum bisa kutangani sampai sekarang. Seminggu penuh setelah hari itu Arif tidak pernah menyapaku. Note : tidak pernah.

Lihat seberapa kekanakannya dia. Seminggu itu pula kami tidak pernah ada latihan untuk ujian praktek. Hanya satu kali melakukan kerja kelompok untuk tugas Bahasa Indonesia. Hal itu membuat Ryan ikut uring-uringan. Gevi berada di ambang kebingungan antara ingin memihakku atau Arif. Yang lain pura-pura tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu. Dan yang membuatku tak habis pikir, Arif memilih bertukar tempat duduk dengan Adi yang duduk di belakang kursi Fajar. Sudah kucoba berbicara juga pada Fajar, ia menjawab panjang lebar. Semuanya diucapkan dengan penuh penekanan yang menunjukkan bahwa kesalahan ada padaku karena menerima bantuan Andre.

Menurutku mereka bersikap tidak jelas dan bereaksi terlalu berlebihan. Kelas sudah tidak karuan malah menjadi semakin berantakan. Maksudku, apapun permasalahan mereka dengan pihak lain seharusnya mereka mau menurunkan ego sedikit saja demi kebaikan bersama. Tapi sayangnya, aku hidup di mana orang-orang lebih suka mempersulit apa yang sebenarnya masih bisa dipermudah.

"Ngomong kek, Sha. Seneng banget gantungin anak orang."

Mau tidak mau aku menoleh pada Andre yang kini bersandar ke punggung kursi dengan tangan bersedekap di depan dada. "Masuk aja sana. Gue masih mau di sini."

"Nggak. Ntar lo ngelakuin macem-macem lagi."

"Apaan sih. Gue udah gede, kecebur juga udah bisa teriak."

"Halah. Tapi itu kaki nyatanya masih gak bisa lo pake buat nyelametin diri sendiri, kan?"

Bukan masalah tidak bisa berenang yang terasa membuatku tidak bisa membalas ucapannya. Namun kalimat sejenis itu justru terdengar tidak asing di otakku.

Gak usah sok mau nolongin orang. Nolong diri sendiri aja belum becus.

Mungkin leherku yang melemas hingga tidak kuat lagi menegakkan kepala. Mungkin mataku yang lupa berkedip tadi jadinya sekarang memanas dan berair. Mungkin pernyatan dua orang berbeda itu yang lagi-lagi menepuk kesadaranku dengan keras.

CLASS FWhere stories live. Discover now