F-24

1.8K 283 14
                                    

Menyingkirkan Seni Bersikap Bodo Amat

•••


Entah berapa lama kami berada di posisi yang sama. Aku berhenti mengoceh saat Fajar sama sekali tidak membuka mata dan mulutnya.

Anehnya, meski aku yakin dia tidur, aku tetap merasa lega. Rasanya seperti dia benar-benar mendengarkan walaupun tidak membalas dengan ucapan apa pun.

Saat mendengar samar bunyi bel pertanda berakhirnya jam istirahat , aku masih malas beranjak. Agak iri melihat Fajar bisa tidur pulas dengan posisi seperti itu.

“Ini orang tidur apa mati suri, sih?” gerutuku. Lama-lama bosan juga hanya menemani orang tidur.
Kurentangkan kedua tangan untuk meregangkan otot-otot tubuh lalu memberikan tepukan cukup keras di lengan Fajar. Dia terperanjat dan perlahan membuka mata. Matanya mengerjap beberapa kali sementara aku mulai berdiri.

“Ayo balik ke kelas,” kataku sambil menunggu Fajar mengumpulkan nyawanya. Laki-laki itu menguap, meregangkan otot lehernya, menguap lagi, diam melamun, menguap lagi, sampai akhirnya kutarik lengannya yang sedang direntangkan ke atas.

Ia tidak melawan dan mengikutiku berdiri untuk berjalan menuju kelas. Tapi serius, gerutuannya mengalahkan omelan nenek-nenek saat dipaksa melakukan yang tidak mau dilakukannya.

“Lo kalo mau ke kelas ya ke kelas aja duluan deh ah. Repotin banget sih.” gerutu Fajar sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

“Gue gak mau ketauan guru sendirian.”

“Bilang aja mau bareng-bareng gue mulu.”

Untuk sepersekian detik, langkahku terhenti. Entah apa yang membuatku merasa baru tertangkap basah dan tersinggung di saat yang sama. Jadi kupukul lengannya dengan keras sampai dia mengaduh. “Gak usah geer!”

Aku berjalan mendahuluinya. Baru beberapa langkah, Fajar memanggil minta ditunggui karena ada yang tertinggal katanya. Aku berbalik, melihatnya berlari kembali ke belakang gudang. Tak lama ia kembali dengan dua buah mangga yang berada dalam satu tangkai.

“Nih,” seru Fajar sambil mengulurkan  tangan yang memegang tangkai buah mangga. Kulihat buah mangga dan Fajar secara bergantian.

"Cepetan ambil. Berat ini tuh.” protesnya sembari menyerahkan paksa tangkai buah mangga padaku.

Aku memandangnya dengan takjub. “Itu pohon beneran ada buahnya?”

“Hm. Cuma itu doang dua.”

“Lo manjat, Jar? Cius?”

“Apaan sih cias cius.” katanya. Dan dengan tampang cueknya ia berjalan mendahuluiku.

Aku berjalan menyeimbangkan langkahnya yang lebar. “Lo manjat?”

“Enggak. Buahnya jatoh sendiri.” jawabnya ketus.

Biasanya aku pasti kesal saat mendengar jawabannya atau protes. Karena, apa susahnya sih menjawab baik-baik dengan jujur.

Sepanjang jalan sepertinya aku tidak mau berhenti tersenyum, tertawa, dan meledek Fajar sekaligus memberinya pujian. Sebelum kami tiba di depan pintu kelas, lebih dulu aku membuatnya berhenti.

“Makasih.” ucapku. Fajar membalasnya dengan bergumam sambil mengangguk kecil.“Hmm.. satu lagi… itu…”

Ia mengangkat sebelah alisnya saat aku bicara. “Apaan?”

“Itu… Jar… pokoknya apapun yang tadi lo denger, anggap aja gue gak pernah ngomong apa-apa. Oke? Thanks, ya.” ucapku dalam sekali nafas. Dengan agak tergesa-gesa aku membuka pintu dan masuk ke kelas lebih dulu sementara dua buah mangga berukuran sedang masih dalam pelukan.

CLASS FМесто, где живут истории. Откройте их для себя