F-29

1.4K 282 6
                                    

Panggilan Jiwa?

•••

Katanya, masa depan ada untuk siapa pun yang mau memperjuangkannya. Baik atau tidaknya masa depan, tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini. Dulu, mendengar kata-kata mutiara semacam ini hanya akan membuatku mendengus.

Selama memasuki SMA, persoalan ‘aku mau jadi apa’ tidak pernah kupikirkan lama-lama. Yang menggantung di keningku hanya seputar bagaimana caranya agar cepat keluar dari tempat ini. Dari rumah ini. Memikirkan akan kuliah di mana, jurusan apa, setelah lulus mau apa, tidak pernah kulakukan sebelumnya. Kupikir, orang-orang masa bodoh di kelasku juga melakukan hal yang sama.

Setelah permainan sederhana di rumah Arif saat liburan kemarin, kenyataan mematahkan prasangkaku. Meski tidak tahu apa yang akan dilakukan, mereka tahu betul apa yang diinginkan. Bahkan Fajar sekali pun. Rasanya tidak mungkin ia begitu ketakutan akan ditangkap polisi karena kasus ‘make’ itu kalau tidak ada masa depan yang didambakannya.

Namun sekarang, persoalan ini terus membuntutiku sampai berhari-hari. Selama di kelas, bukannya konsentrasi belajar, yang kulakukan hanya memperhatikan satu per satu teman-temanku. Setiap malam, aku akan bertanya pada diri sendiri apa yang kuinginkan. Namun begadang sampai dini hari pun, aku tetap kebingungan.

Apa sebenarnya yang aku inginkan?
Pertanyaan itu tetap menggantung di kepalaku. Sampai dua lembar kertas semacam brosur dengan dua nama Universitas berbeda tertera di halaman depannya, tergeletak di meja belajarku.

Aku membaca kedua nama kampus itu. Sebagian diriku meringis, sebagian lagi ingin menangis, sebagian besar lagi ingin terbahak. Hobi sekali dua orang ini menempatkanku di persimpangan jalan, dengan dua pilihan yang sialnya bukan jalan yang kuinginkan.

Lucu. Untuk apa aku pusing-pusing memikirkan masa depan, kalau pada akhirnya aku tetap tidak punya pilihan.

“Kamu udah pikirin mau pilih ke mana?”

Kalimat itu langsung menyambar, sedetik setelah dua lembar kertas itu kuletakkan di meja kerja papa.

Aku menggeleng sebagai jawaban. “Universitas dan fakultas pilihan papa terlalu sulit buat aku.”

Papa menegakkan tubuhnya. Sejenak ia melirik kertas bertuliskan nama kampus negeri ternama di Indonesia, kemudian beralih padaku. Sementara aku bertahan dengan prinsip tetap-lihat-apapun-kecuali-mata-papa.

“Kamu bisa masuk universitas itu. Papa yang jamin. Kamu gak perlu khawatir sama nilai,” ucap papa dengan penuh penekanan.

Seketika tenggorokanku terasa mengering. Aku mengerti maksud papa. Terlalu mengerti malah.

“Rektor di kampus ini rekan papa," ucap papa sambil menunjuk salah satu nama kampus yang tertulis dalam brosur di hadapannya, "Papa dan dia bisa bantu-“

“Bantu apa? Bantu bayar ratusan juta buat beli kursi?” aku menyela pelan, masih tanpa menatap mata papa. “Setelah itu apa? Aku tinggal duduk santai di sana, sambil merhatiin orang-orang pinter dan berbakat itu belajar?”

“Resha, papa tau kamu bisa. Kamu cuma kurang percaya diri aja sama kemampuan kamu.”

Aku berkedip, untuk memfokuskan kembali pandanganku yang mengabur dan mataku yang memanas. Percakapan ini nyaris sama dengan percakapan saat aku SD. Dulu senang sekali mendengar papa mengatakan itu. Tapi sekarang, jelas itu tidak lagi sama.

“Aku gak bisa. Aku gak bisa masuk kedokteran. Aku gak mau.”

Raut wajah papa mengeras. Secara tidak sengaja, mataku bertemu pandang dengan milik papa. “Terus kamu mau apa? Kalau enggak kedokteran, kamu mau apa? Kamu mau ambil pilihan mama kamu dan tinggal di negara asing dengan orang-orang yang belum tentu nerima kamu?”

CLASS FWhere stories live. Discover now