F-25

1.5K 276 16
                                    

Yang Terus Berlari

•••


Class meeting resmi dimulai setelah acara sambutan dari kepala sekolah dan ketua osis selesai. Sejak jam setengah delapan tadi, seluruh siswa dihimbau untuk berkumpul di lapangan. Duduk berbaris sesuai kelas masing-masing sambil mendengarkan entah-apa-yang-mereka-bicarakan.
Aku cuma dengar bagian petuah untuk kelas 12. Yang kalau tidak salah ingat, kepsek meminta kami untuk bersenang-senang selama beberapa hari ini karena kemenangan hanya bonus. Ini waktu yang tepat untuk menikmati masa-masa SMA sebelum dunia yang senyata-nyatanya menyambut di depan mata. Kurang lebih makna tersiratnya sih begitu.

Dan benar, di beberapa perlombaan pertama hampir semua orang antusias. Saat aku kembali ke kelas setelah shalat ashar untuk mengambil permen karet, tidak kutemukan satu pun orang di dalam.

Berbeda dengan tahun lalu, ketika semua orang berkumpul di setiap tempat perlombaan dilaksanakan, hampir semua penghuni kelas F berdiam di kelas dan sibuk dengan permainannya masing-masing.

Aku mengabsen satu per satu tas yang ada dan menghitungnya. Lengkap. Berarti tidak ada yang membolos atau pulang duluan.

“Sha~~” Kepala Gevi sudah menyembul dari balik pintu saat aku menoleh. Setelah mengambil satu pack permen karet, aku berjalan menghampiri Gevi.

“Katanya kita udah ketinggalan 5 poin dari kelas C. Jelaslah kita kalah skill. 4 dari timnya anak klub voli semua coba.” ucap Gevi sambil membuka satu bungkus permen karet.

Kami berjalan agak cepat menuju gimnasium. Suara sorak para pendukung terdengar sampai ke luar. Akan lebih baik kalau kita menang. Tapi mengingat semua pemain masih amatir, kurasa bisa mendekatkan perbedaan jumlah skor dengan lawan pun tidak buruk.

“Seenggaknya anak-anak udah berusaha sebaik yang mereka bisa dengan nyetak poin yang gak jauh-jauh banget. Itu udah progres yang bagus banget, Gev.”

Saat kami memasuki gimnasium, sorak pendukung yang menyuarakan dukungannya untuk kelas C terdengar pahit di telinga. Kami berjalan menuju tempat duduk anak-anak kelas F yang lain.

Di barisan paling depan, ada Alana dan teman-temannya bersorak meneriakkan nama-nama pemain kami. Saat ia tiba-tiba menoleh ke belakang, mata kami bertemu. Tanganku baru akan mengacungkan jempol padanya, tapi ia lebih dulu berbalik dengan muka datar. Dan sedetik kemudian kembali bersorak heboh dengan yang lain.

Gevi menyikut pinggangku. Saat aku menatapnya dia tersenyum hingga matanya cuma menampilkan garis lengkung. Tubuhnya mulai bergoyang ke kanan kiri sambil menyenggolku, tangannya menepuk-nepukan kedua  balon panjang atau apalah itu namanya.

“Ayo Sha teriak yang kenceng biar mereka semangat maennya!”

Aku berdeham sejenak. Saat pasukan Alana berteriak histeris setelah Arif mencetak poin dengan spike-nya, aku sempat tertegun. Dulu yang berpelukan dengan Alana dan bernyanyi heboh di tribun itu aku. Dengan sisa-sisa pahit yang tiba-tiba mengganjal, aku mengikuti setiap detail gerakan, nyanyian, juga teriakannya.

Kami tetap heboh sama-sama, seperti dulu. Yang membedakan, kali ini kami mendukung orang yang berbeda, bersama teman yang berbeda, dan di tempat duduk yang berbeda pula.

•••

Seperti yang sudah direncanakan, kami tidak banyak berpartisipasi di setiap lomba. Aku bahkan tidak tahu lomba apa saja yang diselenggarakan selain lomba yang Arif daftarkan.

Kemarin kami kalah atas kelas C dalam lomba voli putra saat babak penyisihan menuju semifinal. Kata Arif itu sebuah pencapaian bagus. Jadi lumayan cukup pantas untuk dia bagi-bagi cupcake karakter buatan ibunya ke semua orang di kelas.

CLASS FWhere stories live. Discover now