F-3

3.3K 460 24
                                    

Yang Kembali Tumbuh

•••

Pasca acara meeting kemarin yang gagal sepertinya tak hanya berdampak padaku. Hingga jam istirahat pertama dimulai, Arif sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.

Beberapa teman sekelasku bahkan dengan terang-terangan mengatai Arif pengecut karena tidak masuk atau apalah apalah dan menghubungkannya dengan tindakan sok pahlawan yang Arif dan aku lakukan. Ada keinginan dalam diriku untuk membela Arif dan mencaci mereka, tapi semua itu hanya bisa kulakukan dalam hati.

Apa Arif menyerah juga? Jadi hanya tersisa aku? Tapi aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa jika hanya sendirian. Karena disini bukan hanya aku yang menentukan keputusan sekolah terhadap wali kelas kami, tapi seluruh penghuni kelas F.

Pantas saja kami seolah tidak dianggap seperti manusia normal oleh orang-orang, karena kenyataannya memang begitu. Kami memang setidakberguna yang orang-orang katakan. Kami memang seburuk itu. Lebih buruk dari cacian mereka, sepertinya.

ARRRRGGHHHH

Entah kekuatan dari mana, amarahku benar-benar naik tepat di puncaknya. Aku berdiri, menendang mejaku sendiri sampai terguling yang anehnya kakiku tidak terasa sakit sama sekali. Apa ini yang namanya mati rasa?

“Benci gue sama lo semua. Otak lo boleh bego. Tapi hati lo semua dikemanain sih? Dikasih makan ke ayam sama nyokap bokap lo apa hah?”

Aku berteriak semata-mata hanya ingin menumpahkan isi kepalaku yang penuh dan sudah mendidih, tapi mengingat perkataanku sendiri yang menyebut ‘nyokap bokap’ membuat emosiku makin tidak karuan.

Kuambil tas dan berjalan cepat keluar kelas, membuka pintu dengan kasar dan membantingnya hingga tertutup dengan suara debuman sangat keras yang membuatku kaget sendiri.

Aku tidak peduli kalaupun nanti guru mata pelajaran ke-empatku marah atau meminta guru BP memanggilku lagi. Atau sekolah ini runtuh karena bantingan pintu tadi, aku tidak peduli.

Aku benci lingkunganku. Kenapa aku harus selalu terlibat dengan orang-orang tidak punya hati? Kurasa cukup berurusan dengan mereka di rumah, dan hal terakhir yang kubutuhkan adalah orang-orang brengsek di sekolah.

Oh, aku lupa. Kalau saja otakku lebih cerdas sedikit, mungkin aku juga tidak akan terdampar di kelas ini.

“Dasar bego! Manusia bego!”

“Iya lo emang bego.” Suara rendah khas laki-laki membuatku menoleh ke samping dan menemukan Fajar yang menggulung earphonenya kemudian memasukkannya ke kantong jaket.

“Udah tau bego, ngapain bolos?” ucapnya dengan santai, kakinya melangkah menghampiriku kemudian duduk di bawah pohon mangga besar yang berdiri kokoh tidak jauh di depanku.

Aku hanya melemparkan tatapan tidak suka, bermaksud mengusirnya karena harusnya sih dia sadar kalau dia termasuk salah satu manusia brengsek di kelas. Aku sendiri sudah biasa sembunyi di belakang gudang kalau sedang bolos. Gudang ini terletak di dekat bangunan bekas mushola yang sekarang dibiarkan kosong karena sekolah sudah membangun masjid yang lebih besar di samping Sport Center.

Biasanya komplotan anak laki-laki lebih suka berkumpul di dalam gudang kosong supaya tidak ketahuan merokok, jadi selama ini aku aman di belakang gudang karena seseram apapun tetap lebih terang di luar daripada di dalam.

Rencanaku untuk menganggap Fajar sejenis hantu di siang bolong nyatanya gagal, karena mana mungkin aku tetap merasa nyaman dengan hantu yang menatapku terus-terusan begitu.

CLASS FWhere stories live. Discover now