F-2

4.3K 532 51
                                    

Langkah Pertama

•••


Hari ini aku mencetak rekor baru. Tidur pukul 2 pagi tapi bangun subuh tepat waktu, sarapan sebelum penghuni rumah berkumpul di meja makan, dan berangkat pukul 6 sebelum sesi ceramah papa dimulai.

Mumpung masih pagi, aku memilih jalan kaki ke sekolah. Jaraknya memang jadi tambah jauh jika ditempuh melalui jalur tikus. Tapi masih lebih baik daripada melalui jalan raya yang macetnya membuatku menua di sana.

Setelah lebih dari setengah jam jalan santai, aku sampai di sekolah yang belum terlalu dipadati siswa. Saat masuk ke kelas, Arif sudah disana. Duduk bersandar di kursinya yang berada di sebelah kursiku. Kedua kakinya mejeng cantik di atas meja. Dasar songong. Ketua kelas macam apa dia.

"Ngapain pagi-pagi ngelamun? Gak lagi ngerencanain mau bunuh diri, kan?" kataku, membuyarkan lamunannya.

"Lo kembaran Resha, ya?" ujarnya. Pura-pura serius.

Aku mengangkat alis, karena ya memang pertanyaannya tidak jelas. Sebelum sempat kujawab, dia sudah melanjutkan. "Biasanya kembaran Resha dateng pas udah bel. Ini masih lama belnya. Rajin juga ya kembarannya."

Hmmm.

"Kembaran kepala lo peyang! Gue telat dateng, dihukum. Gue dateng pagi, disindir. Dasar netijen sok bener!" sentakku sambil berjalan ke tempat duduk.

Kemudian tawa Arif menggema di ruang kelas. Aku memilih tak mengacuhkannya dan mengeluarkan gorengan yang tadi kubeli di warung Bi Imas.

Sedikit info, itu adalah warung sederhana yang lokasinya di belakang sekolah. Tempat aman dan nyaman untuk persembunyian saat bolos.

Tinggal manjat benteng belakang gudang, loncat indah, jogging beberapa meter, maka sampailah di warung Bi Imas. Gorengannya enak, mie rebus pake telur dan cabe rawitnya murah, dan ada TV 14 inch. Lumayanlah, walaupun channel yang jernih hanya ada dua.

"Lo sarapan sama gorengan?"

Aku menggeleng. "Enggak. Ini mah namanya jajan, mas bro."

"Lo gak mau? Nih gue kasih cengeknya, bohay banget nih liat." tawarku sambil menunjukkan cabe rawit merah sebesar jempol ke depan wajahnya yang menatap ngeri.

Aku hanya tertawa dan berhenti tiba-tiba saat suara decit kursi bergesekan dengan lantai berbunyi. Arif mendekatkan jarak kursinya dengan milikku dan menampakkan wajah serius penuh dilema. Aku bahkan tidak sadar kapan dia menurunkan posisi kakinya.

Jujur aku sedikit grogi karena tidak terbiasa berjarak sedekat ini bertatap muka dengan lawan jenis. Berduaan lagi di kelas. Terakhir dekat dengan laki-laki pun sudah lama sekali. Itu saat aku SMP. Dan di kelas ini aku hanya cukup leluasa berinteraksi dengan Arif. Ia memang ramah dan gampang akrab, walaupun kadang menyebalkan tapi cukup nyaman untuk dijadikan teman.

"Bu Hana tau gak kalau lo tau dia di SP?" tanya Arif.

Aku mengangguk pelan. "Tau. Tapi dia cuma ngambil surat yang gue pegang, terus nyuruh gue balik ke kelas lagi."

"Gue ngerasa bersalah, Sha." Aku menatap Arif yang juga menatapku. Matanya jelas menampakkan sesal dan khawatir yang bersatu.

"Gue juga. Kenapa Bu Hana disalahin cuma karena nilai kita jelek? Harusnya kan yang disalahin itu orangtua murid. Mereka yang salah, gak merhatiin anaknya, gak membimbing anaknya, gak negur anaknya. Mereka yang bertanggung jawab atas anaknya, bukan Bu Hana yang justru kita aja bukan siapa-siapanya dia." ucapku dengan cepat.

Sebenarnya aku menunggu persetujuan atas opiniku dari Arif, tapi dia hanya menatapku tanpa bicara sepatah katapun.

"ANJIR! Kalian berdua--"

CLASS FTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang