F-34

1.5K 241 12
                                    

Yang Menetap

•••

Fajar menjadi salah satu pelaku penyalahgunaan narkotika. Cara paling layak untuk trending berminggu-minggu di sekolah. Nama kelas F semakin memburuk. Padahal yang tertangkap bukan hanya dia, masih ada 7 siswa lain dari sekolah ini.

Tidak ada info yang merinci mengenai penangkapan ini. Polisi semacam membuat ‘acara dadakan’ yang dilakukan diam-diam. Sangat halus, tidak terendus, tahu-tahu ada nama baik yang terbakar hingga hangus.

Hingga satu minggu kabar itu kuterima dari Alfian dan berusaha menyimpannya rapat-rapat sendirian, pada akhirnya tercium juga oleh yang lain. Tentu saja, di jaman sekarang mana ada hal yang bisa bertahan menjadi rahasia?

Kami tertunduk lesu setiap kali melihat Bu Hana yang juga terkena imbas buruknya. Aku tahu dari semua pendidik di sini, Bu Hana adalah yang paling bersedih atas kejadian yang menimpa Fajar. Anak itu sangat dekat dengannya. Wajar saja saat aku menemui Bu Hana ke rumahnya kemarin, airmata tidak bisa lagi disembunyikan. Kesedihan tersirat dari matanya.

Aku pun sama terpukulnya. Dari mulut Fajar sendiri aku pernah mendengar dia menyangkal dugaanku itu. Pun dari mulut lelaki itu pula kebenaran diungkapkannya.

Pantas malam itu dia pamit dan berkata segala hal yang membuatku kecewa. Rupanya dia sudah tahu akan kemana langkahnya berujung. Dia merusak dirinya sendiri, namun menyimpan segalanya sendiri dengan dalih tahu diri.

Aku benci hal itu. Benci melihat orang yang kupedulikan membangun tembok tinggi-tinggi lantas mengasingkan diri. Kenapa dia harus begini padahal dia punya pilihan untuk berbagi?

Ujian semakin dekat, sedangkan fokusku tak lagi berada di sana. Selepas ujian praktek selesai dan materi pembelajaran hampir habis, kami hanya mengisi kelas dengan bimbel. Kebanyakan jam pelajaran kosong membuatku merasa tidak punya banyak kesibukan selain belajar.

Padahal awal bulan depan perjuangan kami selama 3 tahun akan diujikan dalam 3 hari.

Tetapi kursi di dekat jendela itu sama kosongnya dengan perasaanku beberapa hari ini.

Aku tidak tahu ini perasaan semacam apa. Rasanya sulit merasa baik-baik saja saat aku tahu ada yang tidak baik-baik saja.

•••

“Kenapa lo bisa jenguk dia sedangkan gue enggak?!” tanyaku yang mulai naik darah.

Lelaki keturunan Cina di depanku ini memberikan tatapan penuh penyesalan. Tetapi itu tidak berguna untuk meredam rasa kesal dan kecewaku.

“Fajar gak bisa ditemuin, Sha. Dia sekarang mau fokus rehabilitasi,”

“Tapi lo bisa nemuin dia-“

“Atas permohonan Fajar, gue yang jadi pendamping sekaligus wali dia. Karena papanya gak bisa dihubungi sampe sekarang,”

“Tapi kenapa gak boleh ada yang jenguk? Fajar butuh support dari kita!”

Telapak tangan kiri Alfian mengusap wajahnya agak kasar. Dia memalingkan wajah, kemudian beralih kembali menatapku dengan pandangan plis-jangan-banyak-tanya-dan-terima-aja-apa-yang-gue-omongin.

“Fajar yang minta. Gue juga gak tahu gimana bisa dia masih percaya gue meskipun kita gak sedeket dulu. Tapi gue terima permintaannya karena sejauh ini, temen yang deket dia juga cuma gue-“

“Gue juga peduli sama dia!”

“Gue tahu. Justru karena dia juga peduli sama lo, makanya dia gak mau ngebiarin lo ngeliat keadaan dia sekarang. Tolong ngerti, Sha.”

CLASS FWhere stories live. Discover now