F-16

2K 297 48
                                    

Fajar Terbenam

•••

Biar kuberitahu. Resha sedang dalam mode awas. Ada masa di mana perempuan memang akan suka marah-marah, tidak mau tahu mana yang benar atau mana yang salah, dan apapun di matanya semua akan serba salah. Ini adalah sabda dari seorang Ryan yang manggut-manggut sambil cengengesan saat aku menumpahkan semua isi hati dan kepala.

Ryan bilang aku harus tenang. Wajar kalau anak kelas 12 merasa stres. Itu adalah kondisi yang, paling tidak, dapat dialami sebagian anak yang akan menghadapi ujian penentuan masa depan. Dan mendengar kalimat terakhirnya membuat kepalaku pening. Penentuan masa depan apa? Nilai ujian hanya pewarna supaya ijazah tidak terlalu kosong. Mengapa masa depan hanya ditentukan tiga hari? Aku masih belum mengerti.

Lihat saja kondisi orang-orang yang sudah lulus sekolah atau kuliah. Mereka yang berhasil kebanyakan berkat kerja keras berpikir dan berusaha, bukan hanya karena nilai matematika di ijazahnya di atas 90. Nyatanya nilai tidak menyelamatkanmu sepenuhnya, hanya menjadi patokan semu yang menurutku sama sekali tidak menentukan seberapa besar kemampuan seseorang. Aku pernah melihat stiker di kaca belakang sebuah mobil yang bertuliskan 'nilai ijazah hanya sebuah tanda bahwa kita pernah sekolah, bukan tanda bahwa kita pernah berpikir'.

Tapi sebagai manusia yang masih setiap hari menendang-nendang bangku sekolah, aku masih perlu mengejar nilai. Tidak peduli apapun caranya, siswa dituntut mendapatkan nilai yang sangat baik. Karena entah kenapa, lama-lama aku merasa sekolah lebih menuntut hasil akhir di banding kebaikan dari proses yang kami jalani. Alhasil, anak-anak polos seperti kami yang merasa tertekan dengan tuntutan angka tinggi di buku laporan tahunan akan melakukan banyak cara tidak peduli baik atau buruknya. Mencontek, salah satunya.

'Lebih baik nilai kecil asal jujur, daripada nilai besar hasil nyontek.' Ini adalah pembelaan sok bijak yang sering aku lontarkan semasa SD. Kalau kalimat ini kuucapkan sekarang, kesannya malah jadi ngelawak. Siapa yang akan percaya anak kelas F ujian dengan jujur? Nyamuk saja sepertinya tidak mungkin ada di pihak yang percaya pada kami.

"Ibaratnya gini, Sha. Kita masak, walaupun tahu caranya gimana, tapi tetep aja kita butuh resep dari buku masak sebagai patokan biar nggak salah. Dan kita juga sama, kita belajar sekarang tapi kita tetep butuh kunci jawaban buat mastiin kalau jawaban kita bener atau nggak," kata tuan Bijak.

Kupijat tulang hidung untuk ke sekian kalinya dalam setengah jam terakhir. Pusing bukan main melihat tiga laki-laki ini duduk dengan polosnya. Padahal isi otaknya penuh dengan cara kotor.

"Rif, lo ngajak gue damai cuma buat ini?" tanyaku tak habis pikir.

Akhirnya setelah berhari-hari, Arif kembali duduk di tempat semula. Dengan entengnya mengucapkan maaf, dengan sabarnya mendengarkan omelanku, dengan bijaknya mengajak kami kembali belajar kelompok, dan dengan kurang ajarnya mengajukan saran untuk melakukan tindakan kecurangan berjamaah.

"Gak ada cara lain-"

"Ada! Kalau mau nyontek, ya nyontek aja pake kertas yang isinya rumus. Ngapain pake beli kunci jawaban ke orang asing? Dan apa kata lo tadi, Fian? Meretas komputer sekolah? Lo kalau udah sepinter agen mata-mata, ngapain repot-repot nyuri kunci jawaban?"

Ketiganya terdiam, tapi sama sekali tidak ada yang menunjukkan rasa bersalah di wajahnya. Entah pencerahan darimana sehingga mereka bisa mendapat ide melakukan tindakan kecurangan yang sangat beresiko seperti ini.

"Gue juga enggak setuju," aku mengangguk mendengar Gevi mulai berbicara. "Bukan kaya gini caranya. Kita buktiin kalau kita juga bisa lulus pake otak minimalis ini."

"Buktiin apa sih? Tujuan lo mendadak rajin gini cuma biar lulus dan bikin Bu Hana gak jadi dikeluarin, kan? Ya kita di sini bantuin lo lo pada biar tujuan lo berhasil." Ucap Alfian dengan santainya.

CLASS FWhere stories live. Discover now