F-26

1.8K 282 22
                                    

Kisah Klasik di Masa Depan

•••

Kami terlalu berbahagia setelah menempati posisi ke-4 di cabang lari estafet putri, sampai-sampai basket yang harus terhenti di babak perempat  final pun tak kami hiraukan.

Bebek peking dan ayam goreng tepung benar-benar beradu di depan kami. Kukira mereka cuma ngomong doang. Bu Hana sampai terbengong saat Arif dan yang lain sibuk menghidangkan makanan yang mereka bawa ke rumahnya.

Mungkin pernyataan kalau laki-laki akan mudah dipersatukan oleh olahraga itu benar adanya. Aku tidak terlalu memperhatikan bagaimana Arif, Ryan, dan Alfian menyatukan komplotan pemalas dalam satu rasa solidaritas yang sama. Saat aku tanya apa rahasia mereka membuat anak-anak keras kepala itu nurut, mereka lantas tersenyum pongah dan berkata, “Ini sih urusan sesama laki. Cewek gak bakal ngerti.”

Aku yang tidak paham memilih bodo amat. Baguslah kalau mereka bisa sedikit mencairkan otak teman-temannya yang nyaris beku. Mau digiring ke rumah wali kelasnya sebagai bentuk perayaan kecil-kecilan juga sebuah kejaiban sungguhan.

“Buuuu, kita dapet endorse dari bu RT!” teriakan itu terdengar bersamaan dengan suara pagar besi yang dibuka, mengalihkan perhatian kami yang sudah berkumpul.

“Apa itu?” Bu Hana bertanya.

Irza yang tadi berteriak lantas meletakkan kantong plastik besar itu di lantai. “Kita lagi lewat, terus liat bapak-bapak lagi gelayutan di pohon. Kita cuma ngeliatin, eh tau-tau ada ibu-ibu ngasih ini.”

“Apaan sih Za. Masa tiba-tiba orang ngasih gitu aja?” Mira yang sedari tadi bergelayut pada Alana, berbicara.

“Yeee orang kita beneran dikasih. Mereka nanya kita temennya Resha atau bukan, ya kita jawab iya. Terus dikasih ini. Kalo gak percaya tanya aja Fatih tuh orangnya masih hidup. ” jelas Irza lagi.

“Buat gue dong itu?” tanyaku. Tangan sudah gatal ingin tau isi plastik.

“Buat semualah. Jangan maruk ama makanan ntar lo gendut.” Dan seiring dengan pernyataan itu dilontarkan, tawa bermunculan dari sana sini, kantong plastik itu pun kini berpindah tempat.

Ryan membukanya dengan semangat. Ia hanya berkedip saat plastik terbuka. “Jambu air,”

“Yaelah gue kira apaan!”

•••


Kalau aku boleh mengeluh, maka aku akan mengeluh soal proyek K3 yang nyaris tidak manusiawi ini.

Kami menghabiskan 3 hari hanya untuk mencari kebutuhan inti. Untuk dekorasi dan makanan, teman-teman bisa dengan mudah menemukan kebutuhan yang diperlukan setelah mengelilingi pasar tanah abang dan beberapa toko pinggir jalan seharian.

Sementara aku, Arif, Fajar, dan Ryan bertanggung jawab untuk kostum. Di waktu-waktu paling mepet, Santika datang memberi kami alamat tempat sebuah komunitas seni teater berkumpul. Meski caranya memberitahu tetap seakan menjaga jarak dengan kami, Ryan coba menekankan bahwa sebenarnya anak itu juga peduli. Dan kami perlu berterimakasih padanya. Setidaknya berkat dia kami dapat pinjaman kostum. Selain menghemat dana, perlengkapan yang mereka miliki juga sangat mendukung proyek ini.

Setelah itu kami membutuhkan dua hari penuh untuk menyelesaikan dekorasi. Arif menyerahkan tugas untuk sajian makanan jaman dulu pada ibunya. Bukan curang, ini namanya strategi.

Kami sudah berkumpul di dalam kelas sejak pukul 7 dan pulang pukul 9 malam. Khusus untuk kesibukan siswanya, sekolah membiarkan kami pulang lebih lambat. Namun security sekolah tetap berkeliling nyaris 30 menit sekali. Sampai-sampai aku sempat mengira kalau para security ini dijadikan mata-mata oleh kelas lain untuk mengamati kelas lainnya.

CLASS FWhere stories live. Discover now