F-15

1.9K 300 21
                                    

Keluhan ke-sekian

•••


Hanya tinggal menghitung minggu menuju ujian akhir semester. Seperti yang dikatakan Andre, tidak seharusnya aku hanya berfokus pada ujian praktek. Materi untuk ujian-ujian tertulis yang perlu kami pelajari lebih banyak. Walaupun ujian praktek masih saja membuatku terbebani, terlebih Arif yang sulit sekali diajak bicara tetap membuatku sulit untuk fokus.

"Kenapa kamu belum pulang?" kudongakkan kepala dan mendapati Pak Erik berdiri tak jauh dari hadapanku.

Aku menoleh sekali lagi ke pintu kantor guru, "Nunggu Bu Hana, Pak."

"Bu Hana nggak masuk hari ini," jawabnya, memunculkan kecewa yang tidak bisa kusembunyikan. Ya ampun, aku sudah berdiri di depan kantor guru selama setengah jam sejak bel pulang tadi. "Udah pulang sana. Langsung ke rumah, jangan keluyuran."

Aku mengangguk lemas sebelum berpamitan pada Pak Erik yang hendak berjalan ke tempat parkir kendaraan khusus staff sekolah. Bodoh. Kenapa aku tidak bertanya dari tadi sih.

Ting!

Dengan malas kubuka ponsel dan mendapati nama Ryan terpampang di layar. Tanpa membuka pesannya, langsung kutekan ikon memanggil berwarna hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.

"Hola?" suara Ryan terdengar setelah dering kedua berakhir.

"Gue masih di sekolah. Kenapa?"
Ryan tidak langsung menjawab. Yang terdengar hanya suara ribut di sebrang telepon.

"Hellooo! Bisa bicara dengan saudara Ryan?"

"Eh- iya iya Sha. Ini gue."

"Oh. Kirain ini Dono."

Terdengar suara kekehan yang bercampur dengan keributan lain. Lalu suara kresek kresek yang nyaring, lalu berganti menjadi alunan piano tanda panggilan dalam mode hold on, tak lama suara Ryan kembali terdengar dan keributan di sana menghilang. Sesabar itu aku menunggu, asal kalian tahu.

"Gue lagi makan sama Arif," langkahku terhenti di trotoar. Bukan karena informasi sangat penting yang disampaikan Ryan, tapi karena angkot berhenti di depanku. "di warungnya Bi Eem."

Angkot kembali melaju setelah aku duduk di kursi paling dekat dengan pintu, menyapa dengan senyum tipis pada ibu-ibu yang duduk di samping dan depanku. "Penting banget informasinya, Yan. Cius."

"Terus ada Andre sama temen-temennya," Ryan kembali bersuara. Kukeraskan volume karena ibu-ibu di sini berbincang dengan cukup keras.

"Lo ngomong apa sama Andre, Sha?"

Tunggu.

"Andre ngapa-ngapain Arif?" tanyaku dengan perasaan was-was.

"Gue nggak tau mereka berdua tadi ngomong apaan di belakang warung. Tapi setelah Andre pergi tadi, Arif langsung pulang tanpa ngomong apa-apa dan gue ditinggal gitu aja."

Kuperhatikan jalanan takut-takut gang rumah Bu Hana terlewat. Perlahan kucerna perkataan Ryan, memprosesnya dalam kepala hingga satu kekhawatiran membuatku tersadar. "Arif baik-baik aja kan, Yan?"

Ryan berdeham, terdiam sejenak sebelum mengiyakan. Aku tidak bisa bicara banyak karena rasanya tidak nyaman bicara di tengah-tengah orang yang tidak dikenal. Ia tidak menjelaskan kronologis ceritanya, namun lebih banyak bicara tentang kemungkinan topik yang dibicarakan. Aku tahu, sebandel-bandelnya Andre atau Arif, mereka tidak separah Fajar yang ngobrol saja bisa berakhir dengan lebam di pipi. Kuakhiri panggilan setelah turun dari angkot dengan kesepakatan kami perlu menemui Arif secepatnya. Mau dia tidak suka melihatku pun, masa bodoh. Kami hanya perlu bicara. Karena meskipun diam adalah emas, tetap saja masalah tidak akan selesai tanpa komunikasi.

CLASS FWhere stories live. Discover now