F-23

1.8K 300 13
                                    

Self-centered

••

Ada begitu banyak perubahan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Perubahan yang jika dilihat tidak terlalu tampak, namun sebagian orang jelas merasakan.

Selama terkurung di kelas super wow ini, sekalipun tidak pernah aku berpikir untuk menyemangati orang lain. Kami terbiasa dengan sekat membentengi satu sama lain. Bagiku, hidup ini sudah cukup merepotkan. Dan ikut campur urusan orang lain hanya akan tambah merepotkan.

Selama ini kukira semua orang berpikir hal yang sama. Namun setelah apa yang kulalui beberapa waktu terakhir, ternyata orang-orang bukan benar-benar tidak peduli. Sebagian hanya memilih untuk tidak peduli ketika yang lainnya menolak untuk dipedulikan.

Sebelum ini satu-satunya orang yang kupedulikan hanya Bu Hana. Kupikir, dialah satu-satunya yang membuatku bisa bertahan di sini meskipun aku tahu, yang coba beliau kuatkan bukan hanya aku.

Melalui percakapan ringan, segala perilaku baiknya pada orang sepertiku, bagaimana ia mengajarkan putrinya untuk selalu menerima orang lain dengan baik, kurasa semuanya sudah kudapatkan darinya. Hanya saja aku terlalu ragu, berpikir orang-orang di sekitarku saat ini bukanlah yang cukup pantas mendapatkan kepedulian dariku. Juga, terlalu takut jika mereka tidak menerimanya sesuai harapanku.

“Gak semua kebaikan yang kita beri akan diterima dengan baik juga, Sha. Kalau kita peduli sama orang lain, cukup kita tunjukkan. Mereka tahu kita peduli, itu sudah cukup. Selebihnya, mereka mau membalasnya atau tidak, itu bukan hak kita mengaturnya.” ucap Bu Hana di sela kegiatannya memotong batang kangkung.

Setelah ujian tengah semester berakhir hari ini, kuputuskan ikut ke rumah Bu Hana untuk sekalian menemui Aisyah. Keinginanku pulang benar-benar di tingkat nol persen. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku setelah tiba-tiba Alana menghampiriku saat jam istirahat. Dan di rumah, aku tidak akan pernah menemukan solusi apa pun.

Aku mengangguk mendengar ucapannya. Satu per satu batang kangkung dipotong menjadi beberapa bagian. Kulihat Aisyah yang tertidur memeluk boneka kangguru di kursi depan TV.

Di rumah inilah, aku merasakan banyak hal yang tidak kudapatkan di rumah. Rumah kecil ini selalu terasa hangat meski hanya dihuni dua orang. Saat kau memasuki rumah ini, akan terasa kasih sayang yang menguar di setiap sudut ruangan. Dari mereka aku mengerti, kebahagiaan sebuah keluarga bukan hanya perihal kelengkapan anggota, melainkan bagaimana setiap anggota yang ada memperlakukan satu sama lain.

Ini adalah hal yang aku ingin papa mengerti. Bukan ibu atau saudara baru yang kubutuhkan. Bagiku, itu sudah cukup meskipun hanya ada aku dan papa di rumah. Sebagaimana Bu Hana dan Aisyah yang begitu saling menyayangi, aku ingin merasakannya bersama papa. Hanya berdua tanpa tambahan anggota yang membuatku justru merasa terasingkan, di tempat yang seharusnya menjadi tempat ternyaman. Tempatku pulang.

“Bu…” panggilku pelan, “kalau seandainya Aisyah gak suka punya ayah baru, ibu gimana?”

Bu hana terdiam sejenak sebelum menjawabnya. “Ini sulit, tapi ibu harus terima. Aisyah lebih penting dari perasaan ibu. Kalau dia nggak seneng, ibu gak punya alasan buat memaksakan keinginan sendiri.”

“Sha…” panggil Bu Hana.

Aku mendongak ketika merasakan elusan lembut di pipi. Ibu jarinya bergerak mengusap sesuatu yang tidak kusadari kapan ia mulai jatuh.

Bu Hana bergerak mendekat. Dan hal selanjutnya yang kutahu, hanya aku yang merasa ingin menumpahkan semuanya. Ketika seharusnya lelahku berpulang di pelukkan kedua orang yang dulu begitu menantikan kehadiranku ke dunia, justru orang lain yang menyediakan peluknya untuk kuanggap rumah.

CLASS FWhere stories live. Discover now