F-30

1.4K 239 1
                                    

Best Buddy

•••


Panggilan jiwa?

Saat seperti apa kita bisa tahu kalau itu adalah panggilan jiwa? Apakah semacam ah berkat kejadian ini gue tau gue mau jadi ini? Tapi, kejadian apa?

Apakah saat mama memutuskan menjadi guru juga karena panggilan jiwa? Apakah saat mama memutuskan memilih pendidikan lanjutan dan karir di banding keluarganya juga sebuah panggilan jiwa?

Apakah papa juga begitu?

Apakah Bu Hana juga sama?

Tiiiiiin!

Aku berbalik secepat kilat. Bunyi klakson yang terasa seperti ditaruh di telingaku itu masih mendengung saat kepala berambut cepak keluar dari jendela. Cengiran khas yang menghilangkan mata pemiliknya menyambut ekspresiku yang kesal bukan main.

“Masuk, Sha! Bentar lagi ujan.” teriak Andre.

“Sok tau.” umpatku. Kulihat sekilas awan yang dari pagi berwarna kelabu. “Yang bawa handuk belum tentu mau mandi.”

Andre tertawa lagi tanpa alasan jelas. Lama tidak bertemu, dia muncul dengan tingkah seperti ini? Kasihan, padahal masih muda.

Tapi akhirnya aku memilih masuk. Tumpangan gratis jangan disia-siakan. Lagipula aku penasaran, sejak kapan dia rela menghilangkan poni di dahinya?

“Ngebaso, yuk?” tawarnya.

“Bosen. Ke mcD aja.”

“Lo mah ngebangkrutin,” Andre mulai melajukan mobilnya keluar gerbang sekolah. “Giliran sama Fajar aja mau diajak ngebaso, sama gue bilangnya bosen.”

“Dih apaan? Kok lo ngomongnya gitu sih? Bawa-bawa orang lagi,”

“Lo enggak pacaran sama tuh tikus kan?”

Aku mendelik. Bukan cuma karena kata ‘pacaran’ yang dia lontarkan, tapi menyebut temanku dengan sebutan tikus itu, minta disumpel banget mulutnya. “Itu mulut mulus banget ya setelah dipake ngedumelin rumus tiap hari.”

“Hahaha. Becanda elah. Tapi serius, lo jangan terlalu deket sama tuh tikus- eh Fajar maksudnya, Sha. Lo tau kan kalo-“

“Apaan sih, Ndre? Gak usah mikir macem-macem deh. Ngawur aja.”

Mobil Andre berhenti saat lampu merah menyala. Jarinya mengetuk-ngetuk stir, sementara punggungnya bersandar ke kursi. “Tapi gini deh, Sha. Bisa nggak kalo kuliah entar lo temenannya sama cewek aja? Gue khawatir tau. Dari SD temen lo cowok semua, nakal-nakal semua-“

“Termasuk anda, pak.” aku menyela.

Andre tertawa, “Iya termasuk gue. Tapi di kampus, cowok-cowok itu bukan bocah lagi, mereka udah dewasa. Mainannya juga bukan lagi ngajak lo bolos sekolah demi beli gorengan. Lo pasti ngerti, kan, maksud gue?”

Ia memandangku. Aku mengangguk sebagai jawaban. Saat lampu berubah hijau, Andre melajukan kembali mobilnya. Ucapan dan tingkah laku anak ini tidak ada canggung-canggungnya sama sekali. Dia bertingkah seolah kami bertemu setiap hari. Sementara kenyataannya, kami bahkan tidak berinteraksi langsung selama berminggu-minggu.

“Sori kalo gue akhir-akhir ini tiba-tiba ngilang.”

“Kerjaan lo kan emang ngilang dari dulu.”

Aku menengok ke luar jendela. Melihat sebuah café yang warnanya cuma hitam dan putih dari dalam mobil.

“Café punya Indy. Masih baru, sekalian promosi aja. Pilihan tepat juga buat dompet gue yang setipis kertas HVS.” ujar Andre sambil memberi arahan padaku untuk mengikutinya.

CLASS FTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang