F-20

1.8K 281 2
                                    

Empty Space

••

Hari ini membosankan. Kelas dibebaskan dari KBM karena materi untuk semester 1 sudah habis dipelajari. Guru hanya mampir untuk meneriaki kami yang berisiknya mungkin sampai ke kantor guru di gedung sebelah.

Setelah mencatat jadwal untuk ujian tengah semester Senin nanti, aku memilih tiduran. Menelungkupkan kepala di atas meja. Tapi sialnya, bukannya tidur nyaman, posisi seperti ini malah mengingatkanku pada Fajar. Dari celah tanganku yang terlipat, mataku langsung tertuju pada kursi yang berhari-hari tidak diduduki pemiliknya.

Ingatanku kembali ke malam kemarin, saat aku pergi ke minimarket untuk membeli Pocky. Tepat saat keluar dari minimarket, aku melihat seseorang keluar dari kedai seafood di sebrang jalan. Bodohnya aku, bukannya menghampiri justru malah bengong memperhatikan orang itu. Mulai dari dia yang menaiki motor, memakai helm, sampai hilang dari pandangan.

Aku tidak yakin kalau itu Fajar, tapi orang itu terlihat seperti dia. Sayangnya aku tidak menemukan titik terang, perihal untuk apa dia makan seafood jauh-jauh ke daerah dekat tempat tinggalku. Memangnya tidak ada tempat makan yang lebih dekat dengan rumahnya?

“Belajar woy belajar!”

Aku menutup telinga dengan tas setelah mendengar Arif berteriak. Masalahnya, ia duduk di sebelahku. Kurang  asem, emang.

“Sha! Bangun, oy!”

“Gue lagi tidur gak bisa diganggu.” gumamku dari balik tas yang menutupi seluruh wajah.

“Orang tidur mana ada yang bisa ngomong. Mulai error nih anak.”

Bodo amat.

Arif masih mengomel tidak jelas. Suaranya teredam teriakan anak-anak yang bermain uno dan mabar game ML di belakang kelas. Duh, jelas tidur menjadi pilihan konyol di tengah suasana kapal pecah begini.

Aku memilih menyudahi acara tiduran. Lantas pergi ke toilet untuk membasuh muka yang kusutnya mungkin sudah sebelas dua belas dengan rambut Guntur.

Sekembali dari toilet, mejaku sudah dirapatkan dengan meja Arif. Ryan, Gevi, Guntur dan Fatih juga sudah standby di sana.

Aku duduk di samping Ryan yang sedang meraut pensil. “Rajin amat ngajak belajar.”

“Kok gue deg-degan ya. Gimana kalo nanti tetep gak bisa ngerjain soal?” Gevi merengut sementara kepalanya tertunduk menatap deretan soal-soal latihan.

“Jangan ngomong gitu, lah. Pasti bisa. Minimal harus bener banyak di soal PG, kita udah aman.” sahut Fatih. Tumben dia gak melipir buat main basket.

“Gue justru mikirin soal UP olahraga yang gak ada kemajuan apa-apa.” ucap Arif pelan. Kemudian pandangannya beralih padaku, seolah meminta solusi. Aku mengendikkan bahu. Pertanda kalau aku sudah pasrah kalau menyangkut ujian praktek.

“Ini mau belajar apa curhat uya kuya sih sebenernya.” celetuk Ryan. “Udah pikirin gituannya nanti aja. Kerjain soal dulu. Gue lagi niat nih.”

Dia doang sih yang niat. Sisanya bergelung dengan pikiran masing-masing. Bahkan Arif yang tadi teriak-teriak malah terlihat seperti kesadarannya tidak  ada di tempat. Dia memanggil namaku berkali-kali, dan kujawab dengan menguap sama banyak dengan panggilannya.

•••

“Lo kenapa sih?”

Aku mendongak, melihat Arif yang tiba-tiba mendudukan diri di sebelahku.

CLASS FWhere stories live. Discover now