F-12

2.4K 332 25
                                    

Keping Ingatan

•••

Langit mendung lagi. Dan pikiranku masih sekacau rambut teman Fajar waktu itu. Bagaimanapun, si rambut kabel kusut yang Fajar panggil Kal atau apalah, benar-benar membuatku tidak enak makan, tidak konsentrasi saat mandi (sampai pasta gigi kujadikan facial foam!), dan membuatku melirik Fajar berkali-kali selama KBM berlangsung tapi tidak punya cukup keberanian untuk menanyakannya lagi.

Tiba-tiba terpikirkan begitu saja olehku. Kalau si Kal itu mengenal Kin, apa Fajar juga mengenalnya? Lalu, Alana. Aku ingin bertanya apakah dia juga mengenal Kal? Tahukah dia kalau temannya Fajar mengenal Kin? Bahkan ada kemungkinan Fajar pun mengenalnya. Bisa jadi Kin adalah alasan Alana bisa dekat dengan Fajar.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dan mengaitkan satu tanya pada tanya lain yang kesimpulan akhirnya, aku baru akan tahu jawabannya setelah bertanya. Tapi, aku kehilangan ide bagaimana mengajak Fajar berbicara soal ini.

Nama Kin tak seharusnya ada di sini. Orang yang melarikan diri tanpa penjelasan dan hanya menyisakan kekecewaan kupikir tidak cukup pantas untuk hadir kembali.

Walaupun aku satu-satunya yang ia beritahu perihal keberadaannya, itu sama sekali tidak mengubah apa-apa. Sama seperti Alana, bagiku Kin hanya seseorang yang perannya di hidupku sudah selesai sejak lama. Tidak perlu ada babak kedua. Karena aku pun tidak menginginkan lagi hidup dengan mereka dalam satu halaman yang sama.

Menyebalkannya, aku tidak bisa berhenti memikirkan ini. Aku butuh mencari pengalih pikiran. Tidak mengikuti satu jam pelajaran terakhir tidak masalah, kan? Mumpung masih ada 5 menit sebelum bel masuk berbunyi. Setan di sebelah kiriku  berbisik.

“Mau kemana?” Tanya Arif, memandang bingung saat aku berdiri.

“Ke klinik dulu ya. Sakit perut.” Jawabku cepat sambil menepuk-nepuk pelan perut bagian bawah. Kemudian berjalan cepat sebelum ada oknum yang menghentikan rencanaku menenangkan diri.

Aku tidak bohong soal sakit perut. Namun perempuan sudah biasa dengan sensasi nyelekit-nyelekit di area bawah perut saat tamu bulanan datang. Jadi sebenarnya bukan pergi ke klinik yang kubutuhkan.

Koridor mulai terlihat sepi. Hanya beberapa orang yang masih berlalu lalang menuju kelasnya dan sebagian lagi masih nongkrong di depan kelas. Aku memilih koridor kecil menuju belakang gudang. Karena melalui koridor utama, terlalu berbahaya. Sama saja bunuh diri kalau nekat melewati kantor guru.

Rumput-rumput liar yang mulai memanjang di belakang gudang masih terlihat basah oleh sisa-sisa hujan semalam. Berada disini terasa lebih nyaman daripada di rumah. Kalau bisa, lebih baik aku mendirikan tenda camping saja disini. Dan pasti akan lebih enak kalau pohon mangga madu ini berbuah. Sayangnya selama sekolah disini, hanya pernah berbuah satu kali itupun cuma beberapa biji.

Atau aku yang tidak tahu karena selalu kalah cepat dari penghuni lain pohon ini.

Kuhentikan langkah sesaat. Tidak ada pilihan lain selain menghampiri. Karena kembali ke kelas sudah tidak mungkin kalau bel sudah berbunyi. Mungkin ini kesempatan, siapa tahu aku bisa memastikan sesuatu padanya.

“Cukup paru-paru lo aja yang dirusak. Paru-paru dunia jangan juga lo rusak pake asap rokok.” Ujarku setelah mendudukan diri tidak jauh di sebelahnya.

Fajar, si penghuni lain pohon mangga, melirikku sekilas. Menghisap rokoknya dalam diam kemudian menghembuskannya begitu saja, sampai membuatku terbatuk karena asapnya melesat tepat ke hidung. Ish.

“Matiin gak itu rokok!” Bentakku. Sementara si pelaku hanya mendelik, mendecakkan lidah dan mematikan rokoknya.

“Bawel.” Gumamnya yang masih terdengar olehku.

CLASS FOù les histoires vivent. Découvrez maintenant