F-13

2.3K 294 33
                                    

Need help?

•••

Hari Minggu lagi. Artinya, semua orang ada di rumah. Pergi lari pagi di sekitar komplek perumahan ala keluarga harmonis, lalu melakukan chit-chat di meja makan setelahnya.

Dan jangan harap aku termasuk.

Efek begadang selalu membuatku kembali tepar setelah solat subuh. Lalu bangun dengan keadaan rumah sedang kosong yang mana merupakan sebuah kemewahan. Aku bisa dengan bebas memasak dua bungkus mie goreng Aceh plus plus (tambah telur + tomat + sawi + cabe rawit gendut) dan memakannya di kamar sambil menonton film.

Samar-samar obrolan terdengar dari bawah saat aku membuka pintu kamar dan berjalan menuju tangga. Datang ke rumah Arif lebih awal mungkin ide yang lebih baik daripada terkurung di satu istana bersama keluarga kerajaan yang bahagia. Ugh, perutku mual.

Dan mendadak pusing saat kulihat di ruang tengah, ada dua orang yang kurasa tidak sadar kalau jam 9 masih  terlalu pagi untuk bertamu.

“Mau kemana?” Papa bersuara begitu melihatku dengan pandangan menilai dari atas sampai bawah. Jeans, kaos dan kemeja yang kupakai sepertinya bukan hal aneh. Tapi papa memandangku seolah aku baru saja keluar dengan dress ketat dan high heels 10 cm.

“Kerja kelompok,” jawabku seraya menghampiri mama Andre kemudian menyalaminya. “Pagi, Bun.” Kurasa aku tidak perlu melakukan hal itu pada papa dan istrinya juga, kan?

Mama Andre atau biasa dipanggil Bunda oleh anak-anaknya, tersenyum dan mengelus rambutku. Kualihkan pandangan pada Andre yang matanya tengah berteriak ajak-gue-pergi-please.

“Di mana?” Tanya Papa lagi.

“Rumah Arif,” jawabku sambil membenarkan posisi tali tas ke pundak.

“Bun, aku pergi ya. Mau jadi relawan buat kelompoknya Resha. Nanti bunda dijemput ayah, kan?” Andre berdiri, kemudian menyalami para orangtua.

“Iya. Tapi kalian kan nggak sekelas?” Nah. Dia kira Bundanya jadi guru hanya dengan modal gampang dibodohi anaknya apa. Bibirku berkedut menahan senyum melihatnya kikuk. Oh, jangan lupa tatapan curiga dari papa.

“Ini bukan tugas per-kelas, bun. Jadi digabung juga oke. Biar rukun harus saling bantu juga walaupun beda kelas. Iya, kan, Sha?” Yah, aku mengangguk sajalah.

Pandangan curiga papa masih mengintai bahkan sampai kami berjalan ke luar. Kalau bukan karena tidak enak dengan Bunda, sudah pasti Andre akan diintrogasi lebih dulu.

“Ngapain sih pagi-pagi? Numpang  sarapan?” Tanyaku saat Andre mengidupkan mobil(ayah)nya.

“Nggak tau. Paling ngomongin acara perayaan kelulusan Indy. Secara mama lo kan designer nih jadi-“ ia memberi jeda. Dari sudut mata kulihat Andre melirik sekilas ke arahku. “… ya gitulah pokoknya. Dan yang jelas gue udah makan nasi goreng pake telor tiga butir sebelum kesini.”

Mobil melaju pelan keluar dari komplek perumahan. Sepanjang jalan Andre hanya ngomel soal rumah yang kembali rusuh semenjak Hanindya atau biasa disapa Indy pulang ke rumah pasca wisuda. Indy adalah kakak perempuan Andre, yang baru menyandang gelar magister. Terkenal lebih galak dari kakaknya Upin-Ipin, dan sangat anti dengan apapun yang berantakan. Sementara berantakan adalah nama lain dari Andre. Bukannya tidak kasihan, tapi membayangkan betapa frustasinya Andre dengan kelakuan kakaknya yang semua-harus-serba-sempurna membuatku sulit untuk tidak tertawa.

“Bagus. Ketawain aja sampe puas. Tunggu sampe jelmaan Kak Ros ngajak ketemu. Lalu,” tangan kirinya mengepal dan membuka seolah membuat gerakan meledak yang aneh. “Dang!! Seketika lo bakal dia ubah jadi kaya si Nikki.”

CLASS FWhere stories live. Discover now