F-19

1.8K 292 7
                                    

Apa Kabar?

•••

“Gimana persiapan buat ujian tengah semester?” papa bertanya setelah menelan nasi yang baru selesai dikunyahnya. Entah ditujukan untuk siapa, yang jelas aku tidak jadi mengangguk setelah mendengar putri kecoak bicara dengan bangga tentang seberapa besar usahanya dalam belajar untuk persiapan ujian.

“Kamu gimana, Ca?” mama kecoak bersuara.

“Oke aja,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari piring.

Selanjutnya yang kudengar hanya suara-suara pikiranku bercampur dengan suara langkah kaki, pintu tertutup, hela nafas dan belum berakhir bahkan setelah aku membaringkan diri di tempat tidur.

Semakin hari, rasanya aku semakin ingin pergi dari rumah ini. Semakin hari, aku merasa semakin terasing. Mungkin papa kecewa karena aku  semakin menjadi anak yang mengecewakan. Aku bahkan tidak akan heran kalau tahun depan kemungkinan papa akan menyuruhku tinggal dengan mama.

Aku juga ingin, mengatakan dengan bangga di hadapan orang tua itu bahwa aku baru tidur setelah lewat tengah malam karena mengerjakan latihan soal-soal ujian. Aku juga berharap, ada mama yang mengantarku ke tempat les dan menjemputku pulang setelahnya.

Namun apa gunanya mengharapkan semua itu? Membiarkan pikiranku dipenuhi pengandaian malah membuatku berhenti di satu titik. Dan entah sejak kapan aku berada di sana. Rasanya aku tidak pernah bergerak maju. Semuanya diam di tempat, bahkan terkadang dengan sengaja aku membuatnya bergerak mundur jauh sekali. Memanggil kembali harapan-harapan yang tidak mungkin terjadi, impian-impian yang nyaris terlupakan, dan yang paling parah, tokoh-tokoh yang seharusnya tidak kembali dihadirkan di halaman ini.

“Halo?”

Tidak seharusnya aku membawa suaranya kembali terekam di otakku sebaik ini.

“Ini siapa? Dari Indonesia, kah?”

Aku benci melakukan sesuatu secara spontan tanpa berpikir sepanjang-panjangnya.

'... enggak tahu. Akun line-nya bodong. Nama sama foto profilnya samaran semua tapi pake bahasa Indo sih...'

Bahkan nada bergumamnya saat mengomel masih sama. Hanya suaranya terdengar lebih berat. Cukup mengejutkan karena aku masih hapal suaranya, meski di seberang telepon ada beberapa suara lain yang bersahutan tidak terlalu jelas.

“Maaf, kalau nggak ada kepentingan saya mat-“

“Kin-“

Demi susu jahe yang kusemburkan di depan Andre, aku ingin merutuki suaraku yang tidak pernah terdengar sekeren Alana saat menyebutnya dengan nama depan.

“I-iya. Ini Kin- eh, ini Eza. Ini dari Indonesia, kan?”

“Iya,”

“Ini Eza,”

“Iya,”

“Ca, ini kamu?”

Aku tidak tahu, kalau mengetahui seseorang masih mengingat suaramu yang sumbang setelah sekian lama berpisah bisa semengharukan itu.

Setengah jam pertama, aku masih sekaku boneka salju yang katanya dia buat tahun lalu dan dinamai Eca. Satu jam berikutnya, aku sedrama tokoh perempuan di drama Korea saat melepas rindu (namanya juga drama, kan ya). Menit-menit selanjutnya, aku lupa bahwa teman yang satu ini adalah sumber masalah. Hingga menit-menit terakhir yang dipenuhi suara orang menguap, aku lupa tujuan awalku menghubunginya.

“Rencananya tidur mau mimpiin apa, Ca?”

“Liat langit sebelum matahari terbit di puncak gunung,” jawabku dengan kesadaran seadanya.

CLASS FWhere stories live. Discover now