F-18

2K 293 21
                                    

Pilihan

•••

Tujuan kami berantakan. Di saat ujian tengah semester sudah di depan mata, beberapa hal tidak terduga justru hadir dan mengacaukan prioritas utama.

Aku pun tidak tahu kenapa harus sibuk memikirkan yang bukan urusanku. Seperti Fajar yang menghilang dari sekolah selama berhari-hari sejak kepergian mamanya. Andre yang terlihat bersama dengan Alfian. Dan Alana yang dari tatapannya saja, sudah menyiratkan sesuatu yang tidak baik padaku. Sudah kuusahakan untuk tidak mau tahu, tapi otakku tidak bisa diajak kerja sama untuk berhenti berpikir.

"Rambut lo udah berapa hari gak dikeramas sih, Sha? Dari tadi garuk-garuk mulu."

Aku mendengus, sekaligus memberikan lemparan pensil ke arah ketua kelas kami tercinta yang tengah menguap. Dalam hati kusumpahi setidaknya ada lalat masuk, atau minimal nyamuk. Kebiasaan buruk yang paling kubenci dari orang lain adalah menguap tanpa menutup mulut. Ganggu banget. Kemasukan jin baru tahu rasa.

"Kita mesti bikin target," kulirik Ryan yang memutar-mutar pulpen di meja sambil sok berpikir serius. "Atau bikin perjanjian ke pihak sekolah."

"Perjanjian apaan deh?" kataku.

"Gue gak yakin kita bakal berhasil sekelas kalau gini caranya. Lo liat? Gak ada perubahan sama sekali. Gue kepikiran buat bikin perjanjian ke sekolah. Kalau minimal ada setengah dari kelas ini yang berhasil lulus dengan baik, sekolah harus tetap pertahanin Bu Hana," ucap Ryan yang semua kata-katanya membuat kepalaku semakin berat. Kami saling memberi tatapan bertanya pada satu sama lain, untuk kemudian memusatkan seluruh tuntutan atas jawaban itu pada Ryan.

"Ngajak 20 orang sekaligus buat diajak belajar itu enggak akan berhasil. Ujung-ujungnya yang bertahan di lingkaran cuma kita berempat doang," sambung Ryan.

Kami terdiam. Memang benar, yang kini masih bertahan dengan kelompok belajar bersama hanya aku, Gevi, Arif dan Ryan. Jangan tanya yang lain kemana, aku juga tidak tahu. Mereka hanya melipir dengan alasan yang macam-macam, bahkan terkesan tidak masuk akal. Mana ada yang katanya mau latihan berenang tapi update instastory di café.

"Gue rasa kita enggak usah mikir ke sana dulu," kini Gevi mulai bersuara. "Kita fokus aja sama kita sendiri. Yang mau belajar, ya belajar. Yang enggak, biarin aja. Kita ajak mereka untuk kegiatan kelompok aja. Dan soal Bu Hana, gue enggak yakin kita bisa membantu banyak. Itu udah kewenangan sekolah dan kita enggak bisa apa-apa untuk ngubah semuanya."

"Kok jadi pesimis gitu sih? Ya kita paksa lah. Ini untuk kepentingan bersama. Mereka enggak boleh egois," protes Arif.

"Yang dipaksa itu enggak bakal baik, Rif. Kita tahu itu. Bukan pesimis, tapi lebih mikir realistis aja. Jujur, gue merasa terbebani dengan ini. Bukan enggak mau nolong Bu Hana dan enggak ngerasa bersalah, tapi... entahlah." ungkap Gevi yang diakhiri dengan helaan nafas cukup keras kemudian diikuti keheningan.

Tidak ada yang berani menyanggah karena aku sendiri ingin sekali membenarkan ucapannya. Kita tidak bisa mengatur orang lain untuk melakukan sesuatu agar selaras dengan keinginan. Mereka memiliki prioritas, pemikiran, juga kepentingannya masing-masing. Dan memaksa agar sejalan, semua juga tahu, ini bukan hal yang mudah.

•••

Kalo udh slesai, lngsng ke parkiran. Mau ngmng.

Aku mengernyit membaca pesan singkat yang tulisannya juga disingkat-singkat. Merasa miris dan geli sendiri. Kalau malas mengetik kenapa tidak telepon saja, sih.

"Balik sama siapa?"

Aku mendongak mendengar suara Ryan. Mengingatnya yang dari tadi berjalan di sampingku, ada kemungkinan Ryan juga melihat pengirim pesan saat aku membukanya.

CLASS FDonde viven las historias. Descúbrelo ahora