F-28

1.6K 266 19
                                    

Membuka Cerita Lama

••

Tak lama setelah Gevi membalas pesanku bahwa dia sudah sampai rumah, Fajar datang dengan dua es teh manis di kedua tangannya. Ia menaruh satu gelas di depanku dan satu lagi di tempatnya. Disusul dua mangkok mie ayam yang diantar oleh seorang pria paruh baya.

Fajar langsung menyantap makanannya tanpa basa-basi. Aku menirunya. Kami benar-benar melewatkan waktu nyaris setengah jam tanpa mengobrol. Kalimat yang terlontar hanya sebatas 'kemana lagi?' atau 'kesini aja'.

"Gak usah masuk. Di sini aja." Kali ini aku yang mengatakan.

Selepas makan di warung kaki lima, Fajar meninggalkan motornya di sana dan menuntunku berjalan ke sebuah lapangan. Tempat yang biasa kosong itu kini ramai karena sedang diadakan festival lampion berbentuk makhluk hidup hasil kreatifitas warga setempat.

Walaupun sudah dibuka selama tiga minggu, masih banyak orang yang antusias datang. Mungkin karena ini hari terakhir acaranya dibuka.

"Kenapa? Gue yang bayarin tiketnya,"

"Terlalu rame. Males desek-desekkan. Mending duduk di situ aja deh." jawabku sambil menunjuk tempat yang bisa diduduki di trotoar. Jalanan sangat ramai mengingat sekarang masih hari libur.

Kami berjalan ke jalan di sebelah lapangan. Jalan yang menuju gerbang sekolah islami swasta terbesar di sini. Jadi ini jalan buntu, tidak ada kendaraan melintas. Namun memang tempat ini sering dijadikan tempat ngadem oleh orang-orang.

Berbeda dengan jalan raya, sisi kiri dan kanan jalan ini ditanami pohon-pohon yang kini sudah rindang. Dahan dan daunnya menutupi akses cahaya bulan menerangi jalanan. Hanya lampu jalan yang membuatnya tidak gelap-gelap amat.

Beberapa remaja yang datang bersama teman-teman atau pasangannya terlihat tidak jauh dari tempatku mendudukan diri. Cahaya dari ratusan lampion terlihat dari sini. Salah satu balon udara raksasa yang tadi hanya mejeng di bawah sekarang mulai dinaikkan.

"Dari sini aja keliatan. Ngapain masuk ke dalem? Harus bayar. Buang-buang uang aja." ucapku lagi.

Fajar mengangguk-nganggukan kepalanya. Senyumnya samar-samar terlihat. Kemudian ia duduk di sebelahku. Kami tidak jadi duduk di kursi. Keduluan orang. Alhasil trotoar yang agak basah ini jadi pilihan.

"Jadi apa?" tanyaku memulai. Aku sudah tidak tahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran di otakku sejak meninggalkan rumah Arif.

"Apanya?" sahut Fajar sambil mengeluarkan rokok dari sakunya.

"Jangan ngerokok di sini."

"Oke. Gak jadi." Ia memasukkan kembali rokoknya. Aku terheran-heran melihatnya mendadak nurut tanpa aksi perlawanan.

"Lo tega banget sama Gevi tadi. Gue jadi gak enak."

"Biasa aja. Gue udah ngomong dari pagi ke dia kok."

"Gak enak juga sama Ryan,"

"Gak enak atau takut dia cemburu?"

Aku berhenti mengetuk-ngetuk telunjuk ke lutut. "Maksudnya?"

"Kalian berdua kaya mantan yang terjebak di situasi yang berpotensi bikin kalian gagal move on tau gak."
Wow. Serius ini Fajar yang punya pikiran begini?

"Dasar ngaco!"

Fajar terkekeh. Jarinya mengusap lengan atasnya yang kupukul.

Di saat bersamaan suara riuh dari lapangan penuh lampion raksasa terdengar. Rupanya balon udara raksasa yang diterbangkan sekarang bertambah menjadi tiga. Pasti hanya sebagian orang yang menikmati. Sementara sebagian lagi biasanya memilih sibuk melihat kejadian nyata melalui lensa kamera. Mengabadikan momen untuk dibagi ke khalayak umum di jaman sekarang terlihat jauh lebih penting di banding mengabadikannya dalam ingatan. Itulah kenapa aku malas masuk. Lampion-lampion yang berbentuk bunga dan hewan-hewan itu hanya dijadikan spot foto untuk untuk menambah koleksi di feed sosial media. Dan aku sedang tidak punya minat berpose di depan kamera sekarang.

CLASS FWhere stories live. Discover now