17 - Schicke mir ein Blatt

51 7 2
                                    

Kedatangan Eren ke istana ditolak mentah-mentah oleh dua penjaga istana. Pintu gerbang emasnya membatasi mereka untuk bisa masuk menemui Armin.

Kalimat mereka dari "Anda sudah bukan bagian dari keluarga kerajaan" hingga "Kau anggota buangan" dengan nada remeh karena Eren terus memaksa. Kalimat terakhir menyulut emosi Mikasa. Menarik kerah seragam ke dua penjaga hingga wajahnya menabrak pagar. Mengaduh kesakitan dengan cengkraman kuat yang mencekik leher mereka dan wajah yang semakin menekan pada sisi kosong pagar.

"Mikasa hentikan! Kau akan melukai mereka", khawatir dua penjaga itu terluka, Petra mengingatkan Mikasa agar tidak memakai kekerasan. Jawaban Mikasa membuat Petra tertegun, "Hanya dengan cara ini, mereka akan sadar kalau mereka salah bicara"

"Ampun, nona. Baiklah, kalian boleh masuk asalkan jangan sampai ketahuan raja" salah satu penjaga itu menyerahkan kunci dengan gemetaran.

Eren menerima kunci itu langsung membuka pintu gerbang hingga berhasil terbuka barulah Mikasa melepaskan genggamannya. Lain kali Petra juga akan meniru aksi Mikasa tadi. Lupakan soal hukum elf tentang tangan yang bersih adalah tangan yang tidak menyakiti apapun.

Mereka berjalan mengitari taman untuk mengambil jalur belakang istana, sebuah bangunan terpisah yang memang diperuntukkan untuk tempat tinggal para cendekiawan dalam tugasnya ikut dalam negoisasi dan menyulih bahasa kerajaan lain.

Armin nampak sedang menulis dari kaca jendela, cukup tinggi bila berteriak memanggil. Dari bawah, Eren melemparkan kerikil agar jendela itu terketuk. Respon Armin cepat, segera membuka jendela melihat ke bawah. Wajahnya berbinar ketika melihat kedatangan temannya langsung bergegas turun dengan tangan yang masih menggenggam pena dan kertas.

"Eren, akhirnya kau mau kembali ke istana" ujar Armin yang antusias karena masih ingat persis dirinya melihat Eren yang bersungguh-sungguh melarikan diri dari istana. Saat itu, rapat para petinggi dan cendekiawan melihat status Mikasa yang datang jauh dari kerajaan Azumabito. Mereka mendapatkan keputusan kalau menikah dengan kerajaan itu tidak akan menguntungkan kerajaan Paradies. Armin jelas tidak setuju tapi kalah suara.

Bagaimanapun keputusan para petinggi dan cendekiawan, Eren bersikukuh ingin menikah dengan seseorang yang amat ia cintai. Memilih kabur ke hutan untuk hidup berdua.

Ditanya Armin, Eren mengangguk mantap. Melihat ada Petra, Armin merasa asing, "Dia siapa?"

"Kenalkan, aku Petra. Aku ingin Eren bisa menggantikan posisi raja agar hutan tidak jadi lahan untuk pembangunan istana baru"

Armin cukup terkejut dengan pernyataan tiba-tiba Petra tanpa berbasa-basi, "Ah begitu ya. Hmm sepertinya bisa dilakukan sewaktu konferensi yang diadakan lusa"

"Konferensi apa?" tanya Eren penasaran. Untuk urusan istana, Eren masih bisa mengetahuinya dari tulisan surat Armin yang rajin mengirimnya setiap waktu.

"Barusan saja aku mau menuliskan surat padamu Eren. Ya, nanti akan dihadiri dari beberapa kerajaan tetangga di sekitar hutan untuk bekerja sama. Tapi mereka tidak mengetahui kalau raja Zeke berencana mengambil lahan hutan untuk perluasan wilayah dan mengambil pajak dari air sungai yang mengaliri banyak kerajaan tetangga. Kesempatan yang tepat"

"Baiklah, untuk saat ini kita hanya perlu menyiapkan propaganda untuk disebarkan ke warga" Mikasa ikut berpendapat.

"Bukan propaganda Mikasa. Eren berhak mendapatkan kedudukannya" Armin mengoreksi.

"Propaganda hutan maksudku" Mikasa menoleh ke Petra. Eren manggut-manggut, "Ya, ini karena kita didesak Petra, kalau tidak, mungkin kesempatan ini akan hilang" apa yang dikatakan Mikasa bagi Eren adalah kebenaran dan juga keindahan dari segi pemikirannya. Terbuai karena cinta.

"Terimakasih Mikasa, Eren dan juga Armin atas dukungan kalian" ucap Petra sambil menggenggam kedua tangan Mikasa.

"Baiklah, kalian jangan terlalu lama disini. Pulanglah, nanti kita akan bahas lagi besok" Armin menyadari ada kedatangan dua penjaga yang berkeliling.

Mereka semua menunduk, terhalang oleh semak. Eren, Mikasa dan Petra berjalan sambil menunduk sedang Armin berpura-pura mengambil kertas dan menampakkan diri ke dua penjaga "Anginnya cukup kencang ya hari ini, sampai kertasku jatuh". Dua penjaga acuh terus berjalan tidak memperdulikan Armin dan lainnya yang keluar istana.

**

Eren, Mikasa dan Petra berhasil keluar istana berjalan menuju pasar. Tak diduga bertemu Levi yang membawa gulungan kertas yang ia sampirkan di lengan dan tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celananya.

"Hai, Levi. Kau kemari karena masih merancang istana untuk di hut-" belum selesai kalimat Eren yang menyapa. Levi berjalan lurus menuju Petra yang berada di belakang Eren dan Mikasa.

"Kau kemana saja? Ibuku mencarimu

"Ah, aku baru saja menemukan cara untuk menjaga hutan. Dibantu oleh mereka, berkatmu Levi" ucap Petra dengan menyunggingkan senyum.

"Baguslah" respon singkat datar milik Levi. Tapi yang Petra dengar adalah kalimat yang mampu menggetarkan hati kecilnya.

Eren yang nampak bingung langsung bertanya, "Kalian saling mengenal?"

"Lalu kenapa bocah?" Levi langsung menatap tajam Eren tanpa menoleh.

"Ah, tidak apa-apa. Cuma aku baru lihat kalau kau mau bicara dengan perempuan" Eren dengan tertawa canggung.

"Sebelum diangkat jadi raja, singkirkan dulu rambut panjang dan kumismu itu. Menjijikkan untuk dilihat warga" Levi melihat penampilan Eren, risih dengan rambut yang terurai yang terlihat tidak mengurus diri.

Mendengar itu Petra menarik kerah baju Levi. Meniru aksi Mikasa pada dua penjaga tadi karena hanya ini satu-satunya cara agar sadar kalau salah bicara. Petra mendengar kalimat terakhir Levi itu salah di telinganya, menarik kerah itu ke arahnya dengan cengkraman kuat dan menatap mata Levi yang berjarak beberapa senti, "Levi, kau tidak boleh begitu pada seseorang yang juga peduli dengan hutan"

Levi melebarkan matanya karena terkejut apa yang dilakukan Petra yang mendadak. Begitu pula Eren yang berteriak "Haaa?!" seakan tak percaya. Mikasa hanya tersenyum tipis karena tau Petra sedang menirunya.

Petra masih mencengkram kerah baju dan matanya masih bertatapan dengan mata Levi, anehnya jantungnya menjadi berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Memandang dekat wajah Levi sama seperti dirinya yang masih elf tapi tidak pernah merasakan seperti ini. Apakah ini 'sebentuk cinta'?

The Wind at DawnWo Geschichten leben. Entdecke jetzt