Bab 3 || Pagi Di Koridor

21 19 14
                                    

Hamparan nabastala terlukis indah dengan kuning sinar bagaskara yang mulai menampakkan diri meski masih malu-malu.

Perempuan berseragam putih sedang mematut diri di depan cermin. Selesai memasang dasi, dilanjut memakai ciput dan kerudung putih segi empat, terakhir memoleskan bedak bayi tipis di wajah.

"Sudah siap," gumannya lalu beranjak meraih ransel hijau tosca di atas meja belajar. Membukanya terlebih dahulu guna memeriksa barang yang akan dibawa sudah ada di dalamnya tanpa ada yang tertinggal. Dirasa semua telah siap, Afiqa melangkah menuju pintu kamar yang sedikit terbuka, menuruni anak tangga dengan satu tali ransel tersampir di pundak kiri.

Ruang makan adalah tujuannya. Di sana sudah ada Ibu yang menaruh secangkir kopi untuk Bapak. Di atas meja tersaji nasi putih, sepiring ayam kecap, lalapan, dan sambal tomat yang dibuat Ibu dibantu kedua putrinya.

Mendudukan diri di kursi tempat biasa, disusul perempuan berseragam sama dengannya, dan Bapak. Masing-masing mengambil piring diisi nasi dan lauknya, suasana sarapan berjalan seperti biasa, tetapi bertambah anggota, yaitu Alfira.

"Dik Fiqa sama Kak Fira nanti langsung pulang, jangan ke toko, ya?" kata Ibu sesaat setelah sarapan usai. Kedua anak perempuan itu mengangguk kompak, lalu mencium punggung tangan kedua orang tuanya secara bergantian.

Alfira, saudara Afiqa itu lebih dulu mengambil sepatu di rak yang terletak di balik pintu utama rumah, duduk di teras sambil memakainya.

"Baju baru alhamdulillah, tuk dipakai di awal sekolah. Tak baru pun tak apa-apa, asal—"

"Semangat yang baru." Afiqa datang sambil menyela nyanyian Alfira. Perempuan itu mengissi ruang di samping kanan saudaranya untuk memasang sepatu di kedua kaki yang sudah dibalut kaus kaki putih.

Alfira beranjak sesaat setelah sepasang sepatu telah terpasang sempurna. Sedikit merapikan kerudung yang sedikit miring. Sedikit menyipitkan mata saat menatap pantulannya di kaca rumah akibat cahaya matahari pagi.

"Udah cantik, kok." Kegiatan merapikan kerudung terhenti, kepalanya menoleh.

"Iya, deh, kamu yang selalu cantik," sahutnya menanggapi ucapan Afiqa. Lantas keduanya berjalan bersama menuju halte di dekat jalan besar untuk menunggu angkutan umum yang akan mengantarkan mereka menuju sekolah.

"Nanti sekelas gak, ya?" Gumanan itu terdengar jelas di telinga Afiqa yang berdiri tak jauh dari Alfira.

"Maybe."

Alfira menoleh, ia kira Afiqa tak mendengar ucapannya barusan. "Eh? Denger ternyata," katanya terkekeh lalu kembali menatap lurus. "Kalo gak sekelas gimana, Fiq?" Dari nada bicaranya terselip rasa khawatir.

Tangan Afiqa terulur merangkul bahu Alfira, tinggi keduanya sama hanya beda dua centi saja, jadi mudah untuk saling merangkul bahu. Seulas senyum Afiqa tampilkan guna meredam rasa khawatir yang terselip di wajah saudaranya, seakan mengatakan tak apa, semua akan baik-baik saja.

Anngkutan umum beroda empat berhenti di depan halte. Sebelum masuk ke dalam angkot, Alfira mengembuskan napas pelan.

***

Kendaraan beroda empat berhenti tak jauh dari gerbang gedung sekolah bertingkat. Dua saudara itu membayar ongkos lalu berjalan berdampingan menuju gerbang yang terbuka lebar dipenuhi para murid yang hendak masuk, baik berjalan kaki ataupun mengendarai kendaraan masing-masing.

"Siang banget ini, Fiq. Kalo aja tadi sopirnya gak lama mungkin udah sampe dari tadi." Alfira sedikit menggerutu memandang jam bulat di pergelangan tangan. Mungkin lima belas menit lagi bel akan segera berbunyi. Huh, padahal ia harus ke ruang kepala sekolah terlebih dahulu.

Unjuk Rasa ✔️Where stories live. Discover now