Bab 8 || Kenapa?

31 17 6
                                    

"Kenapa sulit sekali mendekatimu? Ada saja hal yang membuat bingung dan memunculkan kata 'kenapa' yang begitu besar dalam kepala."

—Akmal Syahril Mutazan—

***

Akmal, pemuda itu menatap punggung Afiqa yang berjalan menjauh. Otaknya bekerja keras memikirkan apa yang terjadi pada perempuan cantik itu? Ia, kan, cuma pegang tangan, tetapi mengapa reaksinya begitu aneh? Seperti orang yang ketakutan? Apa ada yang salah?

Apa Afiqa takut padanya? Tapi karena apa? Apakah karena belum mengetahui dirinya yang terkesan hadir secara tiba-tiba? Ah, mungkin iya.

Langkah jenjangnya mampu menyusul Afiqa, saat sudah berjalan di sisi kanan perempuan yang masih setia menunduk, Akmal membuka suara.

"Mari, saya antar ke tempat tujuan," katanya, tetapi tetap sama, yang diterima hanya keterdiaman.

Akmal jadi heran, apakah perempuan tambatan hatinya emang pendiam dan jarang berbicara sampai mendiamkannya setiap bertemu dan disapa?

"Afiqa, ayo saya antar. Tunggu di sini, ya? Saya ambil motor dulu." Setelah mengucapkan itu, Akmal berbalik badan dan berlari cepat memasuki gerbang sekolah yang masih terbuka lebar menuju parkiran. Walaupun Afiqa sempat menolak dan mengabaikan ajakannya, ia tak akan menyerah. Bukan Akmal jika tak memiliki seribu satu cara untuk menunjukkan rasanya pada Afiqa. Tak tahu saja, pemuda itu sudah menyusun agenda untuk mendekati Afiqa.

Dengan cepat Akmal menaiki motor dan memasang helm, menyalakan mesin lalu menarik tuas gas. Matanya mengedar mencari sosok Afiqa yang tadi ia tinggalkan tak jauh dari gerbang sekolah.

"Ke mana dia? Ya Allah, susah amat mau PDKT sama doi." Akmal terus menambah kecepatan laju kuda besinya menyusuri jalanan sampai akhirnya senyumnya terbit kala mendapati Afiqa.

Membunyikan klakson membuat kepala Afiqa bergerak ke belakang, tetapi hanya sekilas. Akmal menyamakan laju motor dengan langkah kaki Afiqa.

"Ayo, naik. Saya anter ke toko kue," ajaknya.

"Tak usah." Kali ini ajakannya berbuah hasil, meski bukan itu yang diharapkan sebenarnya. Namun entah mengapa hanya mendengar suara lembut yang baru pertama didengar di hari ini membuatnya senang.

"Kasih tau alamatnya, biar saya anter. Kamu cukup duduk manis di belakang saya." Pemuda yang membuka kaca helm full face-nya kembali membujuk. "Saya anter sampai tujuan, gak dipungut biaya sepeser pun, asli," lanjutnya.

Di tempatnya, Afiqa diam-diam mengembuskan napas guna menormalkan diri yang sempat cemas ketika pemuda yang memaksanya itu mencekal pergelangan tangan seenaknya. Jika tahu akan bertemu dan dibuntuti seperti ini, Afiqa akan lebih memilih ikut bersama Bapak dan saudaranya ke asrama. Huh, penyesalan memang selalu menyertai di belakang.

Afiqa menghentikan langkah dan menghadap ke kanan ketika pemuda berjaket hitam itu terus memintahya untuk naik ke atas motor bagian belakang.

Afiqa mengulurkan tangan saat sebuah angkutan umum hendak melintas, lalu tanpa berkata apapun, ia masuk meninggalkan Akmal yang memasang wajah tak percaya lengkap dengan mulut yang sedikit terbuka.

"Heh, gue ditinggal, nih?" Batin Akmal mendesis. "Ganteng-ganteng gini  di ghosting ditinggalin juga, nasib emang nasib."

Menurunkan kaca helm kemudian menarik tuas gas, mengikuti angkutan umum yang ditumpangi Afiqa baru saja melaju. Selama perjalanan pemuda itu terus memikirkan alasan Afiqa menolak ajakannya? Jika alasannya, tak mengenal dirinya, maka dengan mau diaantar, mereka bisa saling berbicara. Sesuai apa kata pepatah 'Tak kenal maka kenalan'

Unjuk Rasa ✔️Where stories live. Discover now