Bab 31 || Pemuda Agen Modus

17 11 9
                                    


Malam menyapa, setelah sholat isya Afiqaa kembali merebahkan diri di atas kasur. Hujan masih setia mengguyur Bumi sejak tadi sore membuat hawa dingin terasa menusuk hingga nadi.

"Takut kamu sakit, apalagi wajahmu udah merah gitu." Ucapan Akmal sore tadi tiba-tiba terdengar lagi. Tangan itu terangkat menyentuh kedua pipi. Memang benar, tadi pipinya terasa hangat, tetapi bukan karena sakit. Bahkan hingga saat ini tubuhnya baik, hanya terasa sedikit pusing saja.

Ingatan Afiqa kembali berkelana mundur ke beberapa jam lalu.

"Hujan," gumann Akmal. Pemuda itu mengalihkan pandang pada Afiqa yang bersiap melangkah menjauh dari halte. "Ayo, neduh dulu. Cari tempat yang lebih aman buat kamu." Tangan Akmal menarik ujung totabag Afiqa guna menggiring pemilikny untuk kembali ke halte. Akmal mengedarkan pandang mencari tempat berlindung yang aman untuk Afiqa, takut penyakitnya kambuh lagi. Ia tak akan sanggup melihat raut kesakitan itu.

Akmal mengajak Afiqa menuju sebuah warung  yang tak jauh dari posisi mereka berpijak. Afiqa awalnya tak mau, tetapi bagaimanapun dirinya masih takut akan hujan yang mengenai tubuhnya secara langsung. Takut jika kejadian yang sering dialaminya akan terjadi kembali di saat sedang bersama Akmal. Melihat kondisi Akmal yang terluka membuat Afiqa mengikuti apa kata pemuda itu saja.

"Mau pesen apa?" Afiqa hanya balas menggeleng, tak mau memesan apa pun.

Oke, Akmal lantas beranjak dari duduknya menuju Ihu pemilik warung. Afiqa memilih mengedarkan pandang, melihat-lihat bagian warung yang tak terlalu luas.

"Minum dulu." Afiqa mendongak dan mendapati Akmal sudah kembali, tatapan Afiqa turun ke arah meja di depannya. Satu gelas teh hangat diletakkan Akmal tepat di depannya.

"Tahap kemarin udah bisa, ya?" Akmal membuka suara setelah menyesap teh hangatnya.

Afiqa balas mengangguk saja untuk menanggapi. Senyum lebar Akmal menyambut balasan Afiqa.

"Tahap akhir dari pengobatan itu adalah terjun langsung, kan?" Lagi-lagi Afiqa balas mengangguk tanpa bersuara. "Mau mencobanya?"

Kali ini Afiqa tidak membalas dengan anggukan kepala, melainkan hanya terdiam. Iya, Dokter Shinta memang mengatakan jika tahap akhir dari pengobatannya adalah terjun langsung menerjang objek utamanya, hujan. Namun, Afiqa belum sepenuhnya yakin dengan dirinya sendiri. Apakah dia mampu melewati tahap akhir yang nampak mengerikan itu? Apa nanti rasanya akan teramat sakit seperti yang sudah-sudah? Afiqa tak tahu, karena masih ragu untuk mencoba.

Namun, jika ia terus berdiam diri dalam zona aman tanpa mau melakukan percobaan, maka tak akan mendapat sebuah kemajuan juga mencapai zona nyaman dengan sebuah kesembuhan.

"Kalo kamu belum siap, lebih baik jangan dipaksakan," pungkas Akmal sebelum mendapat jawaban dari perempuan di depannya. Ia juga merasa bersalah sudah menawarkan hal tersebut. "Maaf, ya?"

"Gak apa-apa."

Afiqa berusaha mengumpulkan keberanian untuk menyetujui tawaran Akmal tadi. Menatap keluar jendela, ternyata hujan di luar sana cukup deras. Afiqa menelan ludahnya susah payah. Akankah hujan kali ini kalah dengannya? Atau dirinya yang akan kembali kalah dan ditertawakan oleh derasnya rinai?

"Tarik napas lalu embuskan perlahan. Atur pernapasan kamu, Afiqa." Nasihat Dokter Shinta kerap kali dilontarkan itu kembali terdengar memenuhi gendang telinga dan tanpa sadar, Afiqa mengikuti langkah tersebut agar dirinya lebih tenang.

"Aku siap." Keberaniannya sudah terkumpul dengan lengkap. Afiqa beranjak lebih dulu dibanding Akmal yang nampak tertegun.

"Fi–fiqa?"

"Aku siap, tapi tolong beritahu Fira di mana kita berada," balas Afiqa, khawatir nanti kembarannya akan mencari. Akmal menurut, ia meraih ponsel dan mengirimkan pesan singkat kepada Alfira sesuai permintaan Afiqa.

Unjuk Rasa ✔️Where stories live. Discover now