Bab 5 || Merasa Aneh

26 18 17
                                    

Dua saudara turun dari angkutan umum berwarna hijau cokelat yang berhenti di sebrang sebuah gerbang perumahan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Dua saudara turun dari angkutan umum berwarna hijau cokelat yang berhenti di sebrang sebuah gerbang perumahan. Setelah membayar ongkos, mereka menyebrang jalan, masuk ke dalam gerbang perumahan yang dijaga oleh Pak Kardi, satpam yang sedang duduk di pos satpam ditemani koran dan secangkir kopi.

"Baru pulang, Neng?" sapanya.

"Iya, Bapak, mari ...," jawab keduanya bersamaan dengan sopan.

Alfira teringat akan sosok pemuda yang ditemuinya tadi di sekolah, pemuda berparas tanpa dengan mata hazel dan hidung mancung. "Fiq, tadi aku ketemu cowok aneh," adunya membuka perbincaraan.

Menoleh dengan kerutan tipis di dahi, Afiqa bertanya, "cowok aneh gimana maksudnya?"

Bola mata Alfira bergerak ke atas seakan-akan berpikir, mencari kalimat yang tepat untuk menggambarkan keanehan pemuda tadi. "Gini, lho, tadi pas aku keluar dari ruang kepsek, dia lagi dimarahin guru karena telat masuk kelas, tapi dia bilang gak telat soalnya udah dari tadi sampe sekolah. Eh, Ibu guru itu jewer dia terus disuruh ngikut beliau, pas papasan sama aku, dia nyapa manggil nama kamu," terangnya menceritakan pemuda tadi. Alfira sengaja menjeda untuk mengambil napas. "Pas di kantin juga nyapa aku pakai nama kamu."

Afiqa hanya mengangguk menanggapi cerita saudaranya. "Tau dia siapa?"

Alfira merotasikan bola mata malas. "Mana aku tau, kan, baru masuk hari ini," ucapnya kesal.

Menampakkan deretan gigi, Afiqa lupa fakta bahwa saudaranya baru masuk sekolah hari ini. Maklum, baru pindah dari sekolah asrama sebelumnya.

"Kayaknya dia kenal kamu, Fiq. Soalnya tiap ketemu aku dia manggil nama kamu mulu dan kemungkinan besar, kamu juga kenal dia."

Mengedikkan bahu, lalu berjalan membuka gerbang rumah mendahului Alfira yang masih memikirkan hal tak terlalu penting untuk dibahas lebih lanjut. Alfira yang ditinggalkan lantas menyusul seraya mengucap salam.

"Assalamu'alaikum, eperybady kami pulang."

"Wa'alaikumsalam, gak usah teriak, Ibu masih dii toko." Afiqa memperingati agar saudaranya tak berteriak seenaknya.

Alfira menyusul duduk di atas teras rumah membuka sepatu dan kaus kaki. Percuma ia berteriak karena tak ada seorang pun di dalam rumah, karena Ibu sedang berada di toko.

"Lupa, abisnya gak sabar pengin makan masakan Ibu tadi," sahutnya, berdiri meneteng dua pasang sepatu. Menatap Afiqa yang mengeluarkan kunci cadangan dari dalam ransel hijau toscanya.

"Fiq, jangan-jangan kamu punya pacar, ya? Yang nyapa aku tadi pacar kamu?" Tebakan Alfira sontak membuat Afiqa menghentikan gerakan memutar anak kunci.

"Ngaco!" Afiqa membuka lebar pintu lalu menaruh sepatu miliknya di rak belakang pintu diikuti Alfira.

"Ngaku kamu, punya pacar, kan?" godanya lagi membuat Afiqa kesal. Tanpa mau menanggapi lagi, ia berlalu meninggalkan Alfira yang tertawa puas.

Jika di pikir, Afiqa terbilang siswi rajin di kelasnya, banyak murid dari kelas lain yang mengenalnya, tetapi lain halnya dengan Afiqa yang hanya mengenal beberapa saja. Meski termasuk siswi baru saat kelas sepuluh semester genap, ia dikenal oleh kakak kelass dan teman sebaya, tetapi bukan siswi populer seperti Mirza yang notabenenya anggota OSIS dan anggota karate.

Pernah suatu hari, Ada seorang perempuan menghampirinya, menuduhnya terlalu cari perhatian pada Mirza, padahal ia tak merasa melakukan hal tersebut. Meski kedekatannya dengan Mirza memang nyata adanya, tetapi hanya sebatas teman dan mungkin karena Afiqa juga dekat dengan Kanaya, otomatis jalinan komunikasi dengan pemuda dengan rahang kokoh itu terjalin dengan baik.

Aneh memang, banyak orang yang salah paham dengan kedekatan antara perempuan dan laki-laki, padahal tak semua statement dan opini mereka terhadap kedekatan antar lawan jenis itu berarti spesial. Ada yang hanya menjalin pertemanan, meski terkadang salah satu dari mereka akan menaruh rasa.

Afiqa tak pernah menganggap Mirza lebih dari teman kelas, karena bagi Afiqa, Mirza pun menganggapnya demikian. Tak ada rasa lebih dari pada rasa pertemanan yang tercipta .

Menaruh ransel pada tempatnya, lalu bergegas menuju kamar mandi. Keluar dengan wajah segar, Afiqa melangkah menghampiri meja hias.

"Cowok? Siapa, ya? Gak mungkin temen kelas," gumannya. Sebenarnya Afiqa masih merasa bingung juga penasaran siapa sosok yang dimaksud oleh Alfira.

"Fiq, makan, yuk." Dari luar terdengar suara Alfira disusul ketukan pelan di pintu.

Menaruh bedak tabur, lalu membalikkan badan menghadap Alfira yang baru saja membuka pintu kamar. "Masih ada, kan, lauk tadi pagi?" Pertanyaannya dibalas anggukan. Alfira menggandeng lengan kiri saudaranya keluar dari kamar.

***

Akmal memasuki kediamannya dengan langkah santai setelah memarkirkan sepeda motor Vespa di garasi rumah yang terdapat beberapa kendaraan berjejer.

"Mama, Akmal pulang." Pemuda bertubuh tinggi tegap memeluk tubuh wanita yang sedang menyapu lantai ruang keluarga.

"Tumben peluk-peluk Mama," cibir wanita cantik itu seraya melirik putranya yang tersenyum lebar.

"Pengen aja hehe ...," balasnya menampilkan deretan gigi rapinya. Kemudian melepas pelukannya. "Mau makan ayam goreng."

Wanita yang dipanggil Mama itu menghentikan gerakan menyapu sejenak sambil menatap wajah putranya. "Boleh, tapi bersih-bersih dulu, ya?" Tangan kanannya terulur mengusap pipi pemuda yang tingginya jauh melebihinya. Akmal mengangkat tangan membentuk sikap hormat, lalu melangkah menuju kamarnya di lantai dua.

Di dalam kamar, Akmal tak langsung membersihkan badan sesuai perintah sang mama. Pemuda itu malah berdiri di depan standing miror sembari melepas dasi.

"Gue masih kepikiran, lho, ini. Antara gue yang halu, jalan gue yang lelet kek komputer macet, atau dia yang kelewat cepet sampe duluan ada di kantin?" Rupanya hal aneh yang didapati di sekolah masih membuatnya penasaran sampai saat ini. Jika ia bertanya pada Afiqa, mengapa bisa sampai lebih dulu di kantin, apa perempuan itu akan menjawab? Disapa saja, perempuan itu nampak tak acuh, apalagi jika ditanya hal tak berbobot seperti yang ada dalam pikirannya?

Tunggu, tadi pagi bukannya ia berjumpa Afiqa di saat perempuan itu hendak naik ke lantai atas? Dan berjumpa lagi beberapa saat sekembalinya ia dari kantin dan bertemu Bu guru BK yang membuatnya terseret hukuman di pagi hari pembuka pembelajaran.

Hmm ... sudahlah, mungkin hanya kebetulan saja, meski rasanya ada hal aneh dalam kejadian hari ini. Biarkan hal itu menjadi aneh dalam benak Akmal hingga titik temu menjumpai pikirannya suatu saat nanti.

"Di kantin dia duduk sama si Naya, berarti sekelas sama dua sohib gue, dong." Akmal teringat pada kejadian di kantin tadi. Hmm .... berarti ada peluang untuk menuntaskan keanehan yang dirasakan sejak tadi. "Pokoknya harus nanya mereka!"

***

Terima kasih sudah berkenan membaca

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Terima kasih sudah berkenan membaca.

Jangan lupa kasih dukungan untuk cerita yang masih jauh dari kata baik ini, ya. 🙏

Papay!

Planet Bumi, 25 Januari 2022

Unjuk Rasa ✔️Where stories live. Discover now