Bab 25 || Usaha Membantu

18 12 1
                                    

"Inilah caraku untuk membantumu, semoga berkenan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Inilah caraku untuk membantumu, semoga berkenan."

***

Di ujung sepi, Akmal duduk termangu di atas kursi meja belajar. Pikirannya ditarik mundur pada peristiwa siang di sekolah. Di mana momen yang tak pernah disangka juga terkesan langka bisa terasa. Awalnya Akmal merasa jika itu mimpi, tetapi suara Bu Wiwi kala itu membuatnya sadar jika momen itu nyata adanya.

Tawa yang berasal dari bibir merah muda Afiqa membuat Akmal bahagia bukan main. Rasanya hati Akmal tengah dilanda musim semi, banyak bunga bermekaran begitu indah memenuhi tiap inci rongga hati dengan desir angin sejuk laksana angin pagi.

Jujur, Akmal ingin egois saat itu. Ingin menghentikan atau sekedar melambatkan waktu agar bisa lebih lama menikmati suara tawa langka itu. Sampai saat ini, rasanya suara itu masih terngiang begitu jelas dalam gendang telinga. Andai Akmal bisa mendapat balasan rasa yang sama, maka pemuda itu akan merasa menjadi manusia yang bahagia seantero komplek.

Gemericik hujan di luar sana, menarik Akmal dalam laut lamunan indahnya. Kini pikirannya dipenuhi oleh sesuatu yang masih mengganjal di otaknya. Tentang ombrophobia yang baru-baru ini ia pahami secara detail.

Sekali lagi Akmal ingin memahami lebih dalam. Diraihnya ponsel di samping tangan kanan lalu membuka google untuk mencari tahu kembali terkait hal dalam kepala.

"Kan, Bibi itu psikolog? Berarti paham masalah ini," gumannya lalu tanpa pikir panjang ia beranjak keluar dari kamar.

Kakinya mengayun menuju kamar sebelah yang pintunya sudah tertutup rapat, tetapi tak dikunci. Akmal membukanya perlahan agar tak menimbulkan suara keras yang akan menganggu orang-orang yang mungkin sudah terlelap.

"Zam?" Azzam yang tengah duduk melamun di atas kasur sampai terlonjak kala melihat Akmal yang menyembulkan kepalanya. Mungkin jika pemuda itu tak hanya melihat kepala yang menyembul saja, ia tak akan seterkejut ini.

Akmal masuk lalu menutup pintu kamar seperti semula. Berjalan menghampiri Azzam dan duduk di sisinya sesaat setelah melirik Azril yang sudah terlelap dengan posisi miring.

"Apa?" Azzam bertanya setelah hening menemani mereka beberapa saat.

"Bunda lo kapan ke sini?"

Azzam memicingkan mata. "Mau apa lo? Mau nanya kapan gue balik, Bang?" Kali ini pemuda berusia 16 tahun itu agak sewot.

Akmal menoyor kepala Azzam begitu mendapati sepupunya itu sewot. "Yee ... gue mau nanya sesuatu sama emak lo. Jangan su'udzon mulu! Ya, meski iya, sih, sekalian nanya elo pada kapan balik."

Azzam mencabik tak suka pada kakak sepupunya yang satu ini. Kemudian tanpa menghiraukan Akmal yang tertawa, ia memilih berbaring.

"Jawab, Zam!"

Dengan malas Azzam menjawab, "besok."

"Kapan?"

Azzam yang suda memejam kini kembali membuka mata lalu melemparkan bantal pada kepala Akmal yang duduk tak jauh darinya berbaring. Kan, sudah dibilang besok. Kenapa harus bertanya lagi?

Unjuk Rasa ✔️Where stories live. Discover now