O N E

47 6 1
                                    

Jam istirahat adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh murid sekolah, termasuk dengan tiga siswi yang sedang berjalan menuju kantin sekolah.

"Kapan lu jadian, Ay? Sumpeh, lo gak ngasih tau kita? Kebangetan!"

"Kita? Lo doang yang belum tau, Ra. El sama Ying udah tau, malahan mereka yang nyaksiin."

Ketiga siswi itu tak lain dan tak bukan adalah Adara, Yaya, dan Ying. Iya, tokoh utama di book ini.

Adara menatap tak percaya pada kedua temannya itu, "Curang!"

"Makanya, jangan sibuk sama karakter mulu."

"Ngomong sekali lagi, gue santet lo!" ancam Adara. Ying hendak membalasnya, namun Adara malah terjatuh karena menabrak seseorang.

"Lah, udah kena karma duluan sebelum nyantet gue?"

Karma azab itu, ya. Bukan Bakabane setan merah yang kalian husbuin itu, gak bakal nyata.

Ying menggumam heran yang dibalas gedikkan bahu oleh Yaya. Mereka berdua pun sedikit mendongak untuk melihat siapa yang menabrak Adara. Setelah itu, mata mereka membinar-binar. Atau lebih tepatnya, hanya Ying saja, sementara Yaya memutar bola matanya dan memalingkan wajahnya.

"Shh, berapa kali gue ditabrak orang, sih, hari ini?!" desis Adara.

"Sorry, kamu gak apa-apa?"

Adara mendongak saat melihat sebuah tangan yang terulur di depannya. Dia sedikit menutupi matanya karena terkena silauan saat menatap orang itu.

Ternyata itu Gempa. Si Ketua OSIS yang sangaaaat ramah, tetapi juga tegas dan bertanggung jawab.

"Oh, Gempa? Kenapa kamu nabrak aku, sih?" protes Adara, "Maaf, bukan mahram, ya." Ia menolak uluran tangan Gempa dan memilih untuk bangun sendiri.

"Ah, sorry, lupa." Gempa tersenyum lalu menarik kembali tangannya. "Maaf udah nabrak kamu, aku buru-buru tadi, dan kamu juga jalannya mundur."

"G-gue kebiasan jalan kayak gitu, tau!" bela Adara pada dirinya sendiri sembari memalingkan wajahnya yang sedikit memerah.

"Lain kali jangan begitu, ya? Kalo nabrak kendaraan, bisa bahaya." pesan Gempa.

"Don't worry, justru gue mau gitu biar masuk isekai, terus ketemu husbu, deh!"

Adara mulai berhalusinasi, membuat Yaya dan Ying menatap datar padanya.

"Tch, tukang halu." ejek Ying.

"Woy! Gue dengar, ya!"

"Jangan benaran, ya, Ra," kata Gempa, "nanti banyak yang khawatir."

Tiba-tiba senyum yang menghiasi wajah Adara luntur, hal itu disadari oleh Gempa. Meskipun tidak melihat langsung, Yaya dapat mengetahui itu, sebab dia sudah mengenal Adara sejak dia berumur lima tahun.

"Kalo gitu, coba untuk gak khawatirin gue."

===

"Ra, lo itu sadar gak, sih?" tanya Ying menatap Adara dengan serius.

Adara menaikkan sebelah alisnya pertanda bingung, "Apha?" tanyanya balik dengan pipi mengembung karena terisi bakso.

"Telan dulu, Ra."

Ying mendecak, "Si Gempa, lhooo!!"

"Iya, kenapa?" Ying pun mendecih dengan respon Adara.

"Lo makhluk hidup bukan, sih? Peka, 'kek!"

"Peka, peka, peka. Halah, ampas tak berguna yang mengambang di kali, 'lah!"

"Maksudnya tai, Ra?" teka Yaya.

EnchantedWhere stories live. Discover now