E L E V A N

22 6 0
                                    

Adara berjalan di sepanjang koridor menuju lokernya. Dia sendiri, teman-temannya sedang ada exkul tambahan. Ia ingin mengambil beberapa buku yang ia tinggalkan di loker, lalu kembali ke rumahnya.

Gadis itu menghela napas dengan kasar saat melihat Solar yang juga sedang berada di depan lokernya. Ia terpaksa harus melewati laki-laki itu. Atau lebih tepatnya bersiap untuk prank yang dibuatnya.

Ia pun melewati Solar, tetapi ia cukup heran dengan Solar yang tidak mengubrisnya sama sekali. Seakan sedang mendiamkannya.

Namun, bukankah itu hal bagus untuknya?

Adara akhirnya mencoba untuk mengabaikannya. Ia memilih untuk membuka lokernya dengan menutup mata menggunakan sebelah tangan. Setelah ia mengintip untuk memastikan tidak ada hal yang aneh, ia pun menarik napas lega.

Namun pada akhirnya, dia tetap curiga dengan Solar.

Adara melirik lelaki itu, ternyata dia sedang mengerjakan sesuatu di lokernya.

Di detik kemudian, Adara menggeleng samar. Entah mengapa, ia ingin menyapa laki-laki itu.

Dengan segera Adara mengambil buku yang ia perlukan. Tak lupa juga ia mengambil beberapa coklat serta suratnya yang ada di dalam. Ia baru tahu, kalau ada yang memberikannya hadiah seperti ini.

Adara membuka salah satu coklat itu, lalu memakannya. Setelah menaruh buku dan yang lain di dalam tasnya, ia mengunci lokernya dan hendak pulang.

Ia sempat melirik Solar, lagi-lagi laki-laki itu tidak mengubrisnya. Ia pun langsung pergi setelah berdiam diri selama beberapa detik.

Solar akhirnya menoleh ke arah perginya Adara meski sudah tidak terlihat di ekor matanya. Tatapannya menyendu. Ia perlahan membuang napas panjangnya.

Laki-laki itupun menoleh pada loker milik Adara. Seharusnya ia melakukan kegiatan yang biasanya ia lakukan, yaitu membuang semua coklat dan surat yang ada di sana.

Namun, kali ini dia harus dikalahkan oleh egonya.

.
.
.

Solar turun dari sepedanya setelah sampai di depan rumahnya. Ia membuka gerbang, kemudian masuk dan memarkirkan sepedanya.

Setelah selesai, ia masuk ke dalam rumahnya. Belum sempat ia membuka pintu, ia sudah mendengar suara pecahan kaca dari dalam rumah.

Tatapannya menjadi datar, ia mendecih kesal.

CKLEK!

"SAYA UDAH BANYAK NGELUARIN UANG UNTUK KAMU, TAPI KENAPA KAMU MASIH MAIN DI BELAKANG SAYA?!"

"INGAT, YA, MAS. AKU INI JUGA BUTUH HIBURAN!"

Solar menatap sekelilingnya yang cukup berantakan akibat ulah dua orang yang seharusnya disebut orang tua olehnya. Ia menoleh ke lantai dua, di mana ada adiknya yang sedang mengintip di atas sana.

Ia berjalan menghampiri adiknya itu. Lalu ia menggendong adiknya dan mengajaknya menuju ke kamar.

"Sori, maaf, ya. Abang pulang agak telat."

Adiknya yang dipanggil Sori itu mengangguk, lalu memeluk leher sang Kakak.

"Tadi Sori dengar suara sepeda Abang, jadi Sori keluar kamar!"

Solar tersenyum, "Lain kali jangan gitu, ya? Tunggu Abang di kamar aja kalo mereka lagi main film."

Sori mengangguk lagi dengan wajah polosnya, "Sori mau gambar!"

"Ayo, Abang ganti baju dulu, ya."

===

Adara mendecih untuk kesekian kalinya. Entah mengapa ia merasa sedikit gelisah. Bahkan Yaya tidak tahu harus berbuat apa.

EnchantedWhere stories live. Discover now