F I F T E E N

21 4 0
                                    

"Wah, cantiknya kamu ini. Masih mondok, ya?"

"Iya, Tante. Tahun depan rencana mau masuk SMK."

"Bagus, ya? Coba kamu ikutin kakak sepupu kamu ini, Kana. Lebih bagus pendidikan kamu."

Yaya menundukkan kepalanya dengan tangan yang meremas kuat kulot coklat yang ia kenakan. Hatinya terasa ditusuk, matanya memanas ketika Ibunya kembali 'membandingkan' dirinya dengan sepupu yang bahkan tidak ia kenali.

"Coba aja kamu pakai hijab kayak sepupu kamu, Kana. Bukan maksudnya Umi bandingin kamu, cuma, kayak begitu buat apa coba?"

"Tuh, lihat. Adek sepupu kamu aja bisa menang ikut lomba puisi, masa kamu kalah sama anak kecil?"

"Kamu pikir dong, Dek! SMP itu gak guna, tau gak?! Mending masuk pesantren kayak abangmu itu!"

"Buat apa kamu jadi koki? Lebih baik jadi ustadzah atau guru, lebih berguna untuk diri dan orang lain!"

"Masak itu udah jadi kewajiban untuk perempuan, kamu juga bakal jadi koki di keluarga kamu nanti, gak usah yang aneh-aneh, deh."

"Kana, kamu ini gimana, sih?! Piring kenapa gak kamu cuci? Gimana kamu pas udah berkeluarga nanti? Kamu juga bakal cuci piring buat keluarga kamu, emang mau suami kamu yang cuciin nanti?!"

"Untuk apa kamu ikut exkul cheers? Gak berguna! Cuma umbar aurat doang bisanya! Mau jadi jalang, ya, kamu? Mau umbar-umbar aurat kayak gitu?"

Yaya menutup telinganya rapat-rapat. Berbagai ucapan dari kedua orang tuanya terngiang seakan ingin menghantui dirinya. Keringat membasahi pelipisnya, jantungnya berdetak kencang yang membuat napasnya tersengal-sengal dan sekujur tubuh yang bergetar hebat.

Kalau bisa, Yaya ingin kabur dari kehidupannya. Ia cukup tertekan, tidak, sangat tertekan. Menjadi anak perempuan satu-satunya membuatnya harus menanggung harapan besar dari kedua orangtuanya yang sangat menginginkan anak perempuan.

Hal yang tidak ia sukai adalah rumahnya sendiri. Terlebih lagi di saat orangtuanya sedang berkumpul di rumah.

"Aku gak main di belakang, Khansa! Kamu cek kantor aku sekarang!"

"Gak usah pura-pura, Mas! Aku punya saksi matanya!"

Yaya hanya dapat berdiam diri di kamar, sementara lantai satu sedang menjadi panggung bagi mereka berdua.

Yaya tidak tahu apa yang harus ia lakukan, selain memeluk lutut sembari menyumpal kedua telinganya dengan lagu kesukaannya.

Ingin sekali ia lari, ingin sekali ia lari keluar untuk menghentikan mereka. Tapi, ia tidak berani melakukan itu.

Terkadang Yaya iri dengan sahabatnya, Adara, yang bisa bebas begitu saja, bagai kupu-kupu dengan sayap indah yang dapat terbang ke mana pun.

Sedangkan Yaya, bagai anjing peliharaan yang harus menuruti apa perkataan tuannya.

Yaya selalu ingin menjadi Adara. Adara yang bisa menjadi diri sendiri, Adara yang hampir sempurna, Adara yang tidak pernah memiliki masalah, Adara yang dapat dekat dengan keluarganya, Adara yang santai dengan masa depannya--atau bahkan tidak peduli--, dan Adara yang dapat mengungkapkan perasaan serta tidak tertutup pada semua orang.

"Kayaknya jadi lo enak juga, Ya."

Yaya menggeleng keras ketika mengingat ucapan Ying padanya saat di sekolah tadi.

"Gue rasa, lo salah besar, Ying."

.
.
.

Yaya's POV

EnchantedWhere stories live. Discover now