Cara Menangani Jenaka

17.4K 1.2K 22
                                    

"Pak Lembayung." Asisten rumah tangganya menghampiri Lembayung yang baru pulang. 

Lembayung melihat makanan di atas meja masih lengkap, seolah belum disentuh sama sekali. Asisten rumah tangganya terlihat membereskan meja makan.

Ia mengangkat tangan kirinya, melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Hampir jam sebelas malam, dan makan malamnya masih utuh. Memangnya Jenaka ke mana? Lembayung mengangkat wajah dan melihat ke lantai atas.

"Jenaka lagi pergi?" tanya Lembayung.

"Ada di kamar, Pak," jawab Bi Sumi. "Bu Jenaka seharian ada di rumah. Tadinya mau makan, tapi bilangnya nunggu Pak Lembayung pulang. Tapi sampai satu jam yang lalu tiba-tiba Bu Jenaka naik ke lantai atas, nggak mau makan katanya."

Lembayung merogoh saku jasnya kemudian mengeluarkan ponsel. Dari notifikasi yang ia lihat dari layar yang menyala, ternyata Jenaka-lah yang menghubunginya semenjak tadi. Lembayung sangat sibuk, ia bahkan belum sempat makan atau minum. Namun ketika pulang ke rumah, Jenaka malah membuatnya kesal setengah mati.

Semenjak kapan Jenaka bertingkah kekanakan begini? Dulu saat awal mereka menikah, sampai usia pernikahannya menjelang tahun ketiga, Jenaka tidak pernah seperti ini. Ia dan perempuan itu akan menjalani hidup masing-masing tanpa berniat ikut campur. Mau Lembayung sakit, Jenaka sakit, Lembayung terseret rumor perselingkuhan dengan model A, artis ini dan itu, Jenaka sama sekali tidak peduli. Jenaka akan melenggang santai melewati orang-orang yang menggunjing suaminya, sampai orang-orang itu mengira Jenaka adalah istri paling penyabar, sekelas istri aktor yang terkenal itu.

"Jadi gimana, Pak? Saya beresin atau nggak makanannya? Mungkin Pak Lembayung mau membujuk Bu Jenaka untuk makan?" tanya Bi Sumi lagi.

Sebenarnya ini sudah waktunya Bi Sumi untuk istirahat. Tapi karena ulah Jenaka yang konyol, Bi Sumi harus menunggu Lembayung pulang lebih dulu. Bi Sumi ingin membereskan makanan di meja, tapi takutnya Jenaka bersedia makan.

"Beresin aja nggak apa-apa, Bi. Nanti kalau Jenaka lapar, dia juga bakal turun buat makan sendiri," ujar Lembayung, kemudian berjalan melewati Bi Sumi sembari melonggarkan dasi yang melingkari lehernya.

Bi Sumi melihat Lembayung cuek seperti biasanya. Padahal Jenaka telah menunggu kepulangan Lembayung sejak jam tujuh tadi. Jenaka menunggu di meja makan, tidak beranjak sama sekali, sampai akhirnya Jenaka mulai jengah lalu pergi ke kamarnya yang ada di lantai atas.

Bi Sumi telah bekerja bersama pasangan muda itu dari awal keduanya menikah. Selama bekerja di sini, baik Lembayung mau pun Jenaka adalah orang-orang baik. Walau dari luar Lembayung kelihatan dingin, susah didekati, tapi Lembayung orang yang sopan dan menghormati yang lebih tua. Biarpun Bi Sumi cuma asisten rumah tangga di rumah lelaki itu, Lembayung memperlakukannya dengan sangat baik.

Sama halnya dengan Lembayung, Jenaka pun sama. Selain cantik wajahnya, cantik juga hatinya. Alasan Bi Sumi betah bekerja dengan mereka karena baik, Jenaka memperlakukan Bi Sumi kelewat baik. Sejak kecil Jenaka tidak mempunyai Ibu. Bi Sumi tidak tahu jelasnya bagaimana. Tapi yang Bi Sumi dengar, Ibu kandung Jenaka telah meninggal sejak perempuan itu masih balita.

Bi Sumi dan orang-orang yang bekerja di rumah mereka tidak boleh ada yang membeli makan di luar. Karena semua makanan yang ada di rumahnya, untuk dimakan bersama-sama. Bahkan seringkali Jenaka pergi ke mal, perempuan itu malah membelikan Bi Sumi dan lainnya pakaian. Setiap kali Jenaka melihat Bi Sumi dan lainnya memakai barang yang ia belikan, Jenaka pasti sangat senang. Kelewat senang, sampai menjanjikan akan membelikan baju lagi nantinya. Bi Sumi jadi tidak enak. Jenaka terlalu baik. Ia dan yang lain menjadi sungkan.

Sosok Lembayung telah menghilang dari pandangan. Bi Sumi menghela napas. Kedua nama majikannya tidak pernah ia lupakan saat berdoa. Ia berharap suatu hari Lembayung dan Jenaka memiliki hubungan yang harmonis, saling menjaga, perhatian, dan yang penting saling mencintai seperti pasangan pada umumnya.

***

Tangan kanan Lembayung menggapai pintu hendak membukanya. Tapi malah dikunci dari dalam. Ini pasti ulah Jenaka. Perempuan itu dengan sengaja membuatnya kesal.

Bagaimana caranya Lembayung bisa memenuhi syarat yang Jenaka berikan, kalau Jenaka selalu saja membuatnya jengah? Lembayung sungguh lelah, ia ingin merebahkan badan dan beristirahat. Tapi rupanya Jenaka tidak bisa diajak kompromi. Okay, kalau begitu Lembayung tinggal kembali ke kamarnya sendiri, dan ia bisa tidur dengan tenang tanpa diganggu oleh Jenaka.

Lembayung memutar badan memunggungi pintu. Kamarnya sendiri ada di sudut. Sebenarnya dari dulu mereka tidur secara terpisah. Tapi karena persyaratan konyol Jenaka waktu itu, Lembayung tidak memiliki pilihan selain mengiyakan. Walau selama tidur di satu ranjang mereka tidak pernah melakukan lebih dari sekadar berbaring saja.

Lagi pula Lembayung tidak tertarik melakukannya dengan Jenaka. Lembayung tidak bisa melakukannya tanpa perasaan. Karena ia dan Jenaka tidak pernah saling mencintai.

"Lembayung!" Jenaka tahu-tahu membuka pintu, meletakkan kedua tangannya ke pinggang lalu meneriakkan nama suaminya. "Nyebelin banget, sih! Udah tahu salah tapi nggak mau minta maaf!"

Lembayung melepas simpul dasinya, membuka dua kancing kemeja teratasnya. Lelaki itu menghela napas panjang, sepasang matanya memejam menahan diri agar ia tidak terpancing oleh Jenaka.

"Aku nunggu kamu pulang sampai malam. Tapi reaksi kamu kayak gini! Kamu tahu nggak, sih, aku sampai kelaparan nunggu kamu doang!" decak Jenaka sembari mengentakkan kedua kakinya mirip anak kecil.

Lembayung membalikan badan, menatap Jenaka dengan tatapan datar. "Aku yang nyuruh kamu nunggu memangnya?"

Jenaka mengembunkan kedua pipinya. "Nggak, sih..." Jenaka tampak malu, ia menggosok belakang lehernya.

"Ya udah, kamu sendiri yang maksa nunggu aku. Jangan marahnya ke aku. Marah ke diri kamu sendiri kenapa bodoh banget mau nunggu aku padahal nggak ada yang nyuruh."

Jenaka menunjuk Lembayung kesal. Bisa-bisanya Lembayung malah mengoloknya bodoh? Jenaka tidak terima, ia pun menghampiri Lembayung dengan setengah berlari. Begitu kedua tangannya terulur dan menggapai kedua bahu suaminya, Jenaka dengan nekat melompat ke punggung Lembayung.

"Jenaka!" pekik Lembayung menarik tangan istrinya yang melingkari lehernya. "Kamu apa-apaan, sih? Turun, nggak! Kamu bukan anak kecil lagi!"

Jenaka mendekatkan bibirnya ke telinga Lembayung. "Minta maaf dulu, nggak?"

"Nggak," jawab Lembayung. "Aku nggak salah. Kenapa aku harus minta maaf?"

Kedua tangan Jenaka tambah erat berada di leher suaminya. "Kalau gitu, aku nggak mau turun!"

Lembayung tidak bisa berbuat kasar kepada Jenaka, walau Jenaka menyebalkan. Kedua orang tuanya selalu mengajari Lembayung untuk menghormati dan tidak boleh bersikap kasar kepada seorang perempuan. Lembayung akan berdebat dengan Jenaka, dan Jenaka-lah yang akan menjadi pemenangnya, karena Lembayung malas terlalu banyak berbicara.

Mau tidak mau Lembayung membiarkan Jenaka tetap berada di punggungnya. Mengikuti langkah Lembayung ke mana pun. Jenaka menahan tawa, ia bisa melihat wajah kesal Lembayung dari pantulan cermin yang ada di kamar mereka.

"Kamu masih nggak mau turun?" Lembayung agak menengadah menatap Jenaka.

"Nggak!"

"Aku mau mandi. Kamu mau ikut, hah?" ancam Lembayung.

Jenaka seolah tidak takut dengan ancaman suaminya. Jenaka justru meletakkan dagunya ke bahu Lembayung.

Lembayung menghela napas sejenak. Ia melihat ke pintu kamar mandi yang tertutup. "Okay, ini mau kamu sendiri. Aku nggak tanggungjawab."

Jenaka menarik kepalanya, semula ia berani, tapi melihat keseriusan di wajah Lembayung, Jenaka mulai khawatir.

"Aku mau turun!" rengek Jenaka. Tapi Lembayung malah menahan kedua tangannya. "Lepasin! Aku mau turun, Lembayung!" jerit Jenaka, panik.  











To be continue---

Apa perbedaan Lembayung di sini sama di ceritanya Sina?

Ayo, Kita Cerai! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang