Bab Spesial

9K 706 50
                                    

"Jen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jen..." Lembayung duduk di tepi sofa sembari mengulurkan tangan mengelus pipi Jenaka. "Aku bilang apa, kan. Pasti kamu bosan nunggu aku kerja."

"Tapi aku mau nemenin," bisik Jenaka.

Sehabis makan malam bersama, Lembayung meminta Jenaka untuk tidur dulu kalau memang sudah mengantuk. Sementara Lembayung akan mengerjakan beberapa pekerjaan di ruang kerjanya. Jenaka merengek, mengaitkan kedua tangannya ke pinggang Lembayung. Perempuan itu bersikeras ingin menemani suaminya bekerja sampai selesai.

Lembayung pun mengiyakan. Pada awalnya Jenaka memang menemaninya. Namun kurang tiga puluh menit, suara dari ponsel Jenaka tidak kedengaran lagi. Ketika Lembayung mengintip dari kursinya, Jenaka telah jatuh tertidur di atas sofa.

Jenaka meluruskan kedua tangan. Lembayung mengerutkan dahi, ia sedang mencoba menebak maksud Jenaka. Apa ini sebuah isyarat?

"Kenapa cuma dilihatin?" Jenaka protes, mencebikkan bibirnya.

"Ini artinya apa? Aku belum nemu kamus perempuan yang kamu bilang," celetuk Lembayung.

Jenaka membuka mata. "Waktu itu aku bercanda, tahu! Mana ada kamus perempuan beneran!"

Lembayung tertawa. Ia paham maksud Jenaka sebenarnya. Hanya saja ia suka menggoda istrinya lebih dulu.

Ia menyambut kedua tangan Jenaka, lantas menggendong istrinya keluar ruang kerjanya. Jenaka menyandarkan pipinya ke dada Lembayung, menghirup wangi tubuh suaminya.

"Kamu kelihatan lebih manusiawi kalau pake kaus." Jenaka menarik pipinya menjauhi dada Lembayung. Mengamati wajah dan tatanan rambut Lembayung yang berbeda ketika berada di rumah.

"Biasanya kayak gimana?" Lembayung merebahkan tubuh Jenaka di atas ranjang mereka. Menekan kedua telapak tangannya ke kasur, mengapit pinggang Jenaka.

"Aku terbiasa lihat kamu selalu pakai pakaian rapi, rambutnya rapi. Ganteng, sih. Tapi jadi sering dilirik perempuan lain." Tangan Jenaka mengelus lengan kekar Lembayung.

"Kamu cemburu?" pancing Lembayung.

"Nggak," sahut Jenaka percaya diri. "Aku cuma nggak suka aja."

"Ini juga salah satu kamus perempuan, ya? Nggak, artinya iya, gitu?" ledek Lembayung.

Jenaka memukul perut Lembayung, kemudian berdesis kesal. "Apa sih, kenapa bawa-bawa kamus perempuan mulu."

Lembayung menyemburkan tawanya. "Lama-lama aku jadi ngerti lho, Jen. Hebat, kan? Cuma dalam waktu singkat, aku udah ngerti bahasa perempuan sekarang."

"Diam, nggak?" Jenaka menjadi malu.

"Menurut aku juga ya, Jen, ada satu model baju yang paling cocok kamu pake." Lembayung membungkuk, mengarahkan wajahnya sendiri ke wajah Jenaka.

Jenaka menangkap gerak-gerik Lembayung. Mencurigakan sekali.

"Baju seksi kayak waktu itu," bisik Lembayung dengan sengaja.

Jenaka menggosok telinga kanannya yang baru dibisiki oleh Lembayung. Jenaka lantas menjerit diingatkan kembali perihal baju seksi yang dimaksud Lembayung baru saja.

"Jangan diingetin," keluh Jenaka. "Aku tuh cuma iseng waktu itu. Tapi pas coba, kebetulan aja kamu baru pulang. Terus...," Jenaka memberi jeda, menggigit bawah bibirnya sendiri.

Ada kejadian memalukan beberapa hari lalu. Pokoknya Jenaka akan marah jika Lembayung berusaha menyinggung soal baju itu lagi.

Jadi, Jenaka iseng membeli sebuah lingerie, entah apa motivasi Jenaka tiba-tiba membeli barang itu. Saat sampai di rumah, Jenaka iseng mencobanya, berputar di depan cermin, lantas menjadi geli sendiri. Namun, belum sempat Jenaka mengganti baju, Lembayung keburu masuk kamar.

Mereka sempat saling memandang cukup lama. Melihat reaksi Lembayung terus menatapnya, Jenaka menjadi salah tingkah. Ia menutup bagian dadanya, hendak kabur ke kamar mandi menghindari Lembayung.

Namun, kaki Jenaka malah tersandung lalu jatuh. Sungguh, saat itu Jenaka sangat malu. Apa lagi ketika Lembayung menyentuh kakinya, Jenaka sampai kaget.

"Kalau udah dipake, kenapa harus malu dilihat," ujar Lembayung menahan tawa geli.

Jenaka tidak berani menjawab kala itu. Ia terlanjur malu. Ia diam saja ketika Lembayung memeriksa pergelangan kakinya, kemudian menggendong Jenaka ke ranjang mereka.

"Aku cuma coba doang," cicit Jenaka.

"Tapi kamu beli, kan?" tanya Lembayung. "Berarti niatnya memang buat kamu pake, Jen."

Jenaka memalingkan wajah. Kebiasaan Jenaka setiap kali gugup, ia selalu menggigit bawah bibirnya, meremas ujung baju yang dikenakannya.

Tubuh Jenaka menegang. Ia merasakan tangan Lembayung memegang dagunya, menariknya lembut hingga tatapan mereka saling bertemu. Dan, sudah bisa ditebak apa yang terjadi di kamar mereka sore itu.

"Akh! Malu!" teriak Jenaka setelah lamunannya buyar. "Jangan diingetin terus makanya! Suka banget ngerjain aku, kan!"

Lembayung cuma menyinggung sekali, yang membayangkan Jenaka sendiri, yang dimarahi malah Lembayung.

"Kamu perlu simpan buat stock, Jen." Lembayung menyipitkan matanya. "Gimana kalau besok aku antar kamu buat beli? Kamu mau warna apa?" tambahnya, membuat pipi Jenaka tambah merona.

"Lembayung, IH!" Jenaka bangun lalu memposisikan dirinya duduk menghadap pada Lembayung. Tapi posisi yang ia pilih ternyata salah. Karena setelahnya, Lembayung malah lebih mudah mencium bibirnya.  










To be continue---

Sebelum ada bom meledak, aku sengaja bikin bab spesial ini.

Walau ini bab spesial, komen-nya jangan kendor. Harus tetap stabil!

Ayo, Kita Cerai! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang