Mengerti Bahasa Perempuan

13.5K 981 38
                                    

Jenaka panik, ia tidak menyangka kalau Lembayung sungguhan membawanya masuk ke dalam kamar mandi. Jenaka berteriak meminta turun tapi Lembayung malah menahan kedua tangannya.

Alhasil, begitu Jenaka mendapatkan kesempatan kabur, salah satu kakinya tanpa sengaja tersandung keset, lalu jatuh dengan posisi tertidur. 

Lembayung keluar kamar mandi, cuma mengenakan handuk yang memutari pinggangnya. Jenaka mengaduh, ia menggerutu sambil memegangi pergelangan kakinya yang terasa ngilu.

"Gara-gara kamu, aku malah jatuh!" Bisa-bisanya Jenaka menyalahkan Lembayung. Padahal itu ulahnya sendiri.

Lembayung berdiri menjulang di dekat kaki Jenaka. Istrinya terus mengomel, menyindir Lembayung sembari meliriknya sinis.

"Udah tahu aku jatuh, bukannya bantuin malah dilihatin doang!" gerutu Jenaka mengurut kakinya bergantian. "Mana sakit banget lagi! Punya suami nggak ada guna," tambahnya.

Lembayung terlalu malas banyak berbicara. Apa lagi dengan perempuan cerewet seperti istrinya. Jenaka tipikal perempuan yang kalau mengomel lalu diladeni, pasti malah banyak tingkah, ada saja maunya. Dan Lembayung bukan lelaki yang akan melakukan berbagai tindakan konyol yang diminta pasangannya.

"Kamu nggak ada niat bantuin aku bangun, apa?!" Lembayung melewati Jenaka, jelas saja Jenaka langsung berang. "Kaki aku sakit, Lembayung! Kok nggak peka banget, sih!"

Langkah Lembayung terhenti. Jarak di antara keduanya masih sangat dekat. Jika Lembayung memutar badannya sekali, ia bisa melihat Jenaka ada di bawah kakinya, mendongakkan wajah, dengan bibir penuhnya yang mengerucut.

"Kamu nggak bilang minta dibantuin," balas Lembayung.

"Kamu nggak ngerti bahasa perempuan, ya?" sindir Jenaka.

"Ada kamusnya?" sahut Lembayung, ekspresi wajahnya datar. "Aku belajar selama belasan tahun, belum pernah nemu ada kamus bahasa perempuan."

Jenaka mengembuskan napas kesal. Ia menunjuk Lembayung dengan satu jarinya, menundukkan kepala lalu meniup rambut depannya. Jika menurut lelaki itu Jenaka sangat menyebalkan, Lembayung tidak ada bedanya. Ada saja kata-katanya yang menyakiti hati Jenaka. Tidak bisa Lembayung menyenangkan hati Jenaka sehari saja? Cuma sehari, lho. Lagi pula waktu Jenaka tidak banyak di dunia. Sekarang saja Lembayung ketus, sinis, selalu kesal setiap menatap Jenaka, awas saja kalau Jenaka sudah meninggal, Lembayung menangis darah! Karena manusia yang telah tertimbun tanah tidak mungkin hidup lagi.

Jenaka menenangkan diri dengan mengatur napas. Jenaka harus bersabar. Baru dua hari lalu mereka memutuskan untuk membuat hubungan yang baik selama satu bulan ini. Kalau Jenaka menghabiskan sisa kebersamaan mereka dengan bertengkar setiap hari, Jenaka mungkin akan mati dengan rasa penyesalan.

Jenaka ingin mengajak Lembayung pergi berkencan di sisa-sisa terakhir hidupnya. Pergi ke bioskop, pantai, ke tempat wisata, mengambil beberapa foto bersama sebagai kenangan mereka selama menjadi suami-istri. Setidaknya, Jenaka meninggalkan dunia ini tanpa rasa penyesalan. Kalau pun Jenaka belum sempat berhasil mengelilingi dunia karena kesempatan hidupnya terlalu singkat, paling tidak, Jenaka bisa berada di sisi Lembayung sebelum ia benar-benar pergi.

"Ya udah." Bibir Jenaka mengerucut. Kedua tangannya terulur.

"Apa?" tanya Lembayung, sama sekali tidak peka.

"Bantuin, lah," sahut Jenaka. "Aku nggak bisa bangun."

"Tapi masih napas, kan?"

"LEMBAYUNG!" Jenaka mencak-mencak.

Rambut Lembayung masih basah, saat lelaki itu membungkuk akan menggendong Jenaka, wajah Jenaka terkena tetesan air dari ujung rambut Lembayung. Jenaka mengalungkan kedua tangan ke leher Lembayung, menatap lelaki itu sampai tidak berkedip.

Ayo, Kita Cerai! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang