Perubahan Sikap Lembayung

11.7K 903 53
                                    

Alisa menemani Nilo bermain di ruang tamu. Nilo duduk di atas karpet, bermain mobil-mobilan, sementara Alisa duduk di salah satu kursi. Tatapannya mengarah ke jendela, seolah menunggu kedatangan seseorang.  

Nilo asyik main sendiri, belum menyadari kalau Alisa berpindah ke dekat jendela. Alisa berdiri di situ, menyingkap tirai. Sepasang mata Alisa mengerjap, dalam hati ia bertanya, apa Lembayung tersinggung dengan kata-katanya saat terakhir kali kemari? Alisa mengatakannya karena terbawa emosi. Ia telah dipermalukan oleh istri Lembayung. Alisa bahkan dituduh merebut suami orang.

Sejak siang itu, Lembayung memang tidak pernah datang kemari lagi. Sempat lelaki itu mengirim pesan padanya. Mengucapkan maaf atas apa yang terjadi pada Lembayung. Dan Lembayung mengatakan kalau perempuan yang menyiramnya di gerai ayam, itu bukan Jenaka, istrinya. Melainkan teman Jenaka yang salahpaham.

Alisa tidak berniat membalasnya. Ia mengabaikan pesan dari Lembayung. Entah kenapa, ia kesal, ternyata bukan istri Lembayung yang menyiramnya? Melainkan teman istri Lembayung?

"Nggak capek lihatin depan terus," sindir Ibu mertua Alisa, geram. "Masih mengharapkan lelaki itu datang kemari?"

Alisa menutup tirai jendela, lantas menoleh, "Aku nggak berharap apa-apa sama Lembayung, Bu. Aku cuma merasa bersalah. Aku udah kasar sama dia kemarin."

"Bagus," sahut Ibu mertua Alisa, ketus. "Kamu harus tegas selama kamu memang menganggapnya cuma teman! Berteman itu sewajarnya aja, Alisa. Jangan sampai nempel, pergi ke sana kemari cuma berdua. Kalau udah jadi bahan gosip, kamu malah nangis!"

Jangan menyalahkan orang, kalau kamu sendiri yang bikin jadi bahan gosip! Begitu kata Ibu mertua Alisa ketika Alisa menangis karena dijadikan bahan gosip oleh tetangga di kanan dan kirinya. Bahkan sampai orang-orang di pasar pun sama.

"Udah lah, Al. Jalani hidup apa adanya aja. Nggak usah mengharap siapa-siapa. Apa lagi sama lelaki yang statusnya masih suami orang," nasihat Ibu mertua Alisa. "Ibu bilang begini karena peduli sama kamu. Walau Ibu marahin kamu, tapi jauh dari dalam lubuk hati Ibu, Ibu juga tersinggung kalau ada yang ngomong yang nggak enak tentang kamu." Suara wanita itu agak melunak. "Kamu boleh berteman sama siapa pun. Tapi harus tahu batasan. Kamu udah dewasa, punya anak, masa nggak peka kalau Lembayung itu suka sama kamu? Kalau dia nggak bisa mengontrol dirinya, kamu yang harus melakukannya. Nilo baru aja ditinggal sama ayahnya, masa kamu mau sibuk pacaran lagi?"

Ibu mertua Alisa mengakhiri obrolannya sore itu. Ia bergabung bersama Nilo di atas karpet, menemani cucunya bermain. Alisa menelaah kata-kata Ibu mertuanya. Ditatapnya Nilo dalam, lalu mengembuskan napas. Benar, yang harus ia prioritaskan sekarang adalah Nilo. Bukan perasaannya sendiri. Alisa tidak mau egois.

***

Jenaka terpaksa menata barang-barangnya kembali di kamar—mereka—ya, kamarnya dan Lembayung. Pertama ia memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari pakaiannya. Berbagi tempat dengan lelaki itu. Kemudian, Jenaka mengatur alat make up, sikincare, bodycare, dan perawatan kecantikan lainnya ke meja rias.

"Apa pun?" Lembayung menatap Jenaka, serius.

"Iya." Jenaka mengangguk. "Asal kamu bisa bikin Dimar terbebas dari tuduhan itu."

Lembayung meluruskan pandangan. Ia tidak berniat menatap yang lain kecuali Jenaka. "Yakin banget Dimar bukan pembunuh Nasti?"

Mendengar itu, Jenaka merasa tersinggung. "Dan kamu yakin banget kalau Dimar dalangnya?"

Lelaki itu beranjak dari tepi ranjang Nasti, memasukkan barang-barang milik perempuan itu ke dalam satu kardus. Mulai dari figura, foto-foto yang digantung ke dinding, boneka, dan lain-lain.

Jenaka meremas ujung bajunya, menahan geram karena Lembayung tidak kunjung menjawab. Lembayung dengan santai membantu Jenaka membereskan barang milik Nasti di kamar kost.

"Kamu nggak mau bantu aku?" Jenaka menaikkan intonasi suaranya. "Lembayung!" jerit Jenaka, frustrasi.

Lembayung menolehkan kepalanya, satu jari lelaki itu ditempelkan di depan bibir sebagai isyarat agar Jenaka tidak membuat keributan di sana. "Suara kamu bisa didengar sama tetangganya Nasti. Jangan sampai mereka kemari, karena ngira aku ngapa-ngapain kamu."

"Makanya jawab dulu!" seru Jenaka, mengentakkan kedua kakinya ke lantai.

"Aku mau bantu kamu." Lembayung berdiri, menegakkan badannya. "Tapi kamu harus tepati janji kamu ke aku."

"Tinggal bilang aja. Mau kamu apa, aku pasti tepatin selama kamu mau bantu Dimar!"

Lembayung mengoreksi kata-kata Jenaka. "Aku maunya bantu kamu. Bukan Dimar," timpal Lembayung. "Aku punya beberapa permintaan. Dan sebelum aku bantu kamu, kamu harus ikutin perintah pertama dari aku."

"Apa?" Jenaka menantang Lembayung.

Sambil menutup kardus, Lembayung menjawab, "Taruh barang-barang kamu kembali ke kamar—kita. Jangan pindah."

"Hah?" Jenaka terbengong. "Maksud kamu, aku harus segera pindah dari rumah itu, kan? Tenang aja, aku berniat cari tempat tinggal baru. Mana mungkin aku bisa di apartemen yang jadi tempat teman aku dibunuh—"

"Jangan—pindah." Lembayung menekan dua kata yang diucapkannya. "Selama kamu setuju sama permintaan pertama, aku akan temui Dimar besok."

Jujur saja Jenaka masih bingung kenapa Lembayung tiba-tiba berubah baik kepadanya. Di malam Nasti ditemukan meninggal, Lembayung adalah orang yang selalu menemani Jenaka. Dari sore pulang bekerja, sampai malam hari, bahkan Jenaka terbangun karena mimpi buruk, Lembayung ada di sebelahnya. Tetap terjaga, menunggu Jenaka sampai tidur kembali.

"Ada yang aneh nggak, sih? Apa kepalanya Lembayung jadi agak baikan setelah kepalanya dipukul Nasti pake sapu waktu itu?" gumam Jenaka sambil berkacak pinggang. "Kalau dipikir lagi, setelah kejadian itu dia memang berubah. Waktu gue nganter berkas dia di pengadilan, dia bahkan bilang terima kasih. Kayak keajaiban banget gitu, lho?"

"Keajaiban apa?" Tiba-tiba pintu dibuka. Sosok tinggi-tegap Lembayung muncul di kamar.

"Apa?" Jenaka salah tingkah. "Aku ngomong sendiri, kok. Nggak ada yang sebut nama kamu!"

Lembayung manggut-manggut. "Padahal aku cuma tanya 'keajaiban apa?', tapi kamu jawabanya banyak banget." Lelaki itu melepas jasnya, melepas simpul dasi juga membuka tiga kancing kemeja paling atas.

"Aku bingung kamu tiba-tiba baik," ujar Jenaka, jujur. "Aku patut curiga, kan?" Jenaka mengerutkan dahi. "Biasanya orang yang tiba-tiba berubah tanpa alasan cuma ada dua kemungkinan."

"Apa aja?" sahut Lembayung.

Jenaka mengacungkan jari telunjuknya. "Karena orang itu memang mau berubah," jawabnya. Lalu, ia mengacungkan jari lagi. "Terakhir, kemungkinan orang itu umurnya nggak panjang. Kayak ada tanda-tanda sebelum meninggal."

Lembayung mendelik, ia siap protes. "Kamu sumpahin aku cepat mati?"

Jenaka menyibak rambut depannya, tertawa mengejek, "Aku cuma jawab rasa penasaran kamu. Kalau belum siap meninggal, ya udah, kenapa marah?"

Woah! Lembayung membuka satu kancing kemejanya lagi. Rasanya baru tiga hari lalu mereka akur, sekarang Jenaka membuat Lembayung kesal.

Ia menunjuk Jenaka. "Jangan bercanda soal mati, Jen." Air muka Lembayung menjadi sangat serius.

"Kenapa?" tanya Jenaka. "Umur seseorang nggak ada yang tahu. Siapa tahu aku bilang kamu nunjukin tanda-tanda mau meninggal, besoknya malah aku yang mati? Gimana?"

"Jen!" sentak Lembayung, refleks.

Jenaka kaget. Ia meletakkan kedua tangannya di dada. "Apa, sih? Kok, tiba-tiba teriak. Aku kaget, tahu—"

Jenaka mengerjapkan mata. Kedua tangan Lembayung melingkari badannya. Memeluk Jenaka dalam keadaan sadar. Kalau kemarin Lembayung memeluk Jenaka karena Jenaka dalam kondisi berduka, Jenaka bisa memaklumi. Sejahat apa pun Lembayung, pasti Lembayung masih memiliki hati nurani. Jenaka akan menganggap Lembayung memeluknya untuk menghiburnya saja. Tapi kalau sekarang, memeluknya untuk apa? Baru saja mereka sedang berdebat.

"Lembayung," bisik Jenaka menepuk punggung suaminya.  













To be continue---

Ayo, Kita Cerai! Donde viven las historias. Descúbrelo ahora