Diawasi Dari Jauh

10.5K 769 20
                                    

Dua minggu berlalu sejak meninggalnya Nasti, Jenaka tidak pernah menginjakkan kakinya ke apartemennya. Dua minggu lalu juga, Jenaka berniat tinggal di sini setelah ia setuju untuk berpisah dengan Lembayung. Namun, takdir berkata lain. Di apartemennya, di depan mata kepala Jenaka, Nasti ditemukan tidak bernyawa. Betapa hancur perasaan Jenaka ketika ia dihadapkan dengan mayat teman baiknya. Ia adalah orang pertama yang menemukan mayat Nasti. 

Jenaka menarik napas kemudian mengembuskannya. Tangan kanan Jenaka membuka pintu lalu masuk ke dalam sendirian.

Hal pertama yang dirasakan Jenaka adalah sesak. Kakinya kembali gemetaran, ia mengingat setiap detil sebelum ia menemukan Nasti malam itu. Dan di sana, di dekat dapur, Nasti tergeletak di situ. Jenaka jatuh terduduk, menjerit histeris sebelum Lembayung datang kemudian menarik Jenaka menjauh dari tubuh Nasti.

Tidak terasa air mata Jenaka meleleh. Padahal ia sudah berjanji tidak akan menangis lagi. Di sisa umur yang ia miliki sekarang, Jenaka punya dua keinginan. Menikmati waktu singkatnya bersama Lembayung, dan terakhir, mencaritahu siapa pembunuh Nasti. Lalu apa motifnya. Nasti pernah membuat kesalahan apa sampai orang itu tega membunuh Nasti.

Kata Lembayung, polisi sudah memeriksa CCTV di sekitar area gedung apartemen Jenaka. Tapi CCTV-nya ternyata sedang dalam perbaikan kala itu. Jadi, mereka tidak menemukan apa-apa selain mayat Nasti. Bahkan si pembunuh tidak meninggalkan sidik jari sedikit pun.

Dari hasil autopsi Nasti yang keluar, sebelumnya leher Nasti sempat diikat sebuah tali, dan si pembunuh mencoba menariknya. Tapi entah kenapa si pembunuh malah memukul kepala Nasti sampai tengkorak kepalanya kelihatan. Tidak cukup kepalanya dipukul, Nasti juga mendapat luka tusukan sebanyak enam kali. Dan diperkirakan Nasti meninggal saat itu juga.

Jenaka menyeka air matanya. Bibirnya tersenyum getir. Sepasang mata Jenaka menatap ke bawah, tepat ke lantai—tempat tubuh Nasti tergeletak sebelumnya. Dalam hati Jenaka mengatakan, "Gue pasti bisa temuin siapa pembunuh lo, Nas."

Tepat mengatakannya, ponsel Jenaka berdering dari dalam tasnya. Ia merogoh tas hitam kecilnya, mengeluarkan ponsel dan melihat nama Lembayung di layar.

"Hal—"

Jenaka bahkan belum selesai menyapa Lembayung, tapi lelaki itu buru-buru menyelanya. "Kata Bi Sumi, kamu pergi keluar sendiri. Sama siapa? Ke mana?"

Jenaka menurunkan kedua bahu. Jenaka menurunkan tas, menentengnya dengan tangan kiri sembari menghampiri sofa. Jenaka duduk di sana, menyandarkan punggung sambil mendengarkan Lembayung mengomel.

Aneh tidak, sih? Lelaki pendiam seperti Lembayung tiba-tiba berubah cerewet. Setiap kali menatap Jenaka selalu mengerutkan dahi, tatapannya datar, kini berubah menjadi khawatir setiap menit.

"Aku pergi ke apartemen buat bersih-bersih."

"Kamu nggak berniat pindah, kan?" sahut Lembayung, curiga.

"Nggak, lah. Kata kamu nggak boleh pindah, kan." Jenaka memindahkan ponsel ke telinga kiri. "Apartemen aku kan jarang ditempatin. Udah berdebu banget. Makanya aku datang buang bersih-bersih aja. Setelah itu aku langsung pulang, kok."

"Mending bayar jasa orang bersih-bersih aja, Jen," ujar Lembayung. "Kalau kamu kecapekan, terus kenapa-kenapa gimana?"

"Lembayung," tegur Jenaka, menahan kesal.

Seketika Lembayung terdiam, ia lepas kontrol dan membuat Jenaka bisa saja tersinggung. Perempuan itu jadi sering mewanti Lembayung agar tidak memperlakukannya seperti orang yang akan mati. Jenaka mau Lembayung bersikap seperti biasanya. Anggap saja Jenaka sehat, tidak sakit apa pun. Karena itu lebih baik daripada Lembayung tidak memberi izin Jenaka melakukan beberapa hal karena ia sakit. Jenaka baik-baik saja untuk saat ini. Ia akan melakukan apa yang ia mau untuk menghargai waktu singkat yang ia miliki.

Ayo, Kita Cerai! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang