Kasih Aku Kesempatan

15.4K 998 51
                                    

Bom pertama meledak!

Dari awal, aku udah kasih warning buat cerita ini, ya. Apa pun bisa terjadi.

Kalau cerita Sina banyak kejutan, plot twist, ceritanya Jenaka nggak kalah mengejutkan. 

***

Gue udah pasrah. 

Kalau gue mati hari ini, gue nggak akan merasa sia-sia. Karena sisa hidup gue digunakan dengan baik. Biarlah gue pergunakan dengan menyelamatkan nyawa Lembayung. Sekali pun gue benci sama dia karena terus mengecewakan gue, tapi dari dalam lubuk hati gue yang paling dalam, gue menyayangi Lembayung. Oh, nggak... gue mencintai Lembayung.

Jenaka memejamkan mata. Ia sudah pasrah jika terjadi sesuatu dengannya. Dalam bayangan di kepalanya, mungkin saja ujung pisau yang ia lihat telah menusuk bagian tubuhnya. Entah lehernya, punggung, atau mungkin saja bahunya. Jenaka pasrah saja, hidup dan matinya sudah ada di tangan Tuhan.

Suara teriakkan orang-orang yang didominasi oleh perempuan mampir ke telinga Jenaka. Jelas saja semua orang akan menjadi histeris jika dihadapkan dengan situasi mengerikan seperti ini. Jenaka terdiam, tiba-tiba menjadi hening. Hingga detik berikutnya, Jenaka mendengar suara lengkingan seorang lelaki, disusul suara seseorang jatuh lalu memekik kesakitan.

Ada pula suara benda jatuh, ia merasakan jatuh tepat di dekat kakinya.

Jenaka membuka kedua matanya. Ia pikir ia akan merasakan kesakitan saat ujung pisau itu menusuk bagian tubuhnya. Tapi, Jenaka tidak merasakan apa-apa. Sampai ia merasakan sebuah lengan memeluk pinggangnya.

Jenaka menarik diri, masih dalam posisi kedua tangan memeluk tubuh Lembayung. Kepalanya bergerak turun, ia melihat tetesan darah segar—berasal dari telapak tangan Lembayung.

Sontak saja lelaki berjaket merah tadi segera diamankan oleh para petugas. Lelaki itu memegangi lengannya, mengerang kesakitan. Jenaka mengerjapkan mata. Apa yang terjadi? Ia pikir hari ini ia akan mati lebih cepat. Namun ternyata....

"Oh! Tangan kamu...," pekikan Jenaka berubah menjadi lirih. Ia melihat telapak tangan Lembayung terluka, darah terus menetes.

Jenaka sempat panik untuk beberapa saat. Ia menarik pita yang mengikat rambut panjangnya, segera ia lilitkan pada luka Lembayung.

"Gimana bisa...," gumamnya khawatir. "Orang tadi siapa, sih?! Kamu kenal?"

Lembayung hanya menghela napas.

Jenaka telah mengikatkan pita rambutnya ke telapak tangan Lembayung. Ia meminta kunci mobil lelaki itu. "Mana? Biar aku yang nyetir. Kamu harus diobati dulu."

Seorang perempuan memberikan tas Jenaka yang sebelumnya ia jatuhkan. Jenaka mengucapkan terima kasih, lantas menggandeng Lembayung menuju mobilnya.

***

Lembayung menatap luka di telapak tangannya yang telah diobati. Kejadian tadi siang membuat Lembayung cukup terkejut. Bukan karena lelaki itu ingin mencelakainya, padahal ia masih ada di depan gedung persidangan. Tapi, karena Jenaka yang masih saja mempedulikan dirinya.

Andai saja Lembayung tidak cepat menyadari, mungkin Jenaka yang akan mendapatkan luka. Bahkan bisa lebih parah dari luka yang Lembayung miliki. Lembayung pasti akan menyesali seumur hidupnya karena telah membuat orang lain terluka cuma untuk menolong dirinya. Terlebih itu Jenaka. Orang yang paling sering ia sakiti selama ini.

Di depan pintu kamar Lembayung, Jenaka berdiri sembari memegangi nampan di tangan. Jenaka menemui Lembayung di kamarnya cuma untuk mengantar makanan dan obat lelaki itu. Walau Lembayung telah menyakiti Jenaka berkali-kali, Jenaka tidak bisa mengabaikan orang terdekatnya sakit, dan terluka. Urusan Jenaka dan Lembayung biarlah nanti. Untuk saat ini, Jenaka hanya melakukan tugasnya sebagai sesama manusia untuk saling tolong menolong.

Ayo, Kita Cerai! Where stories live. Discover now