Menjadi Serba Salah

9.4K 837 28
                                    

Maksud kedatangan Awan menemui Dimar di rumah lelaki itu, ia ingin berbaikan dengan pacarnya. Semenjak ia bertengkar dengan Dimar beberapa waktu lalu, kemudian mendengar berita kematian Nasti, Awan dikejutkan dengan kabar penangkapan Dimar beberapa hari lalu. 

Bisa-bisanya Dimar dituduh membunuh Nasti. Walau Awan tidak menyukai perempuan itu, Awan yakin bukan Dimar yang membunuh Nasti. Dimar sosok lelaki berhati lembut, penyayang, terlebih hubungan Dimar dan Nasti sangat dekat.

Awan berusaha menemui Dimar ketika lelaki itu ditahan, namun Dimar menolak menemui Awan. Sampai kabar kebebasan Dimar sampai di telinganya, maka dari itu Awan buru-buru menemui Dimar. Tapi, sampai di sana ia malah bertemu dengan Jenaka.

Awan menebak Jenaka sengaja menyentuh lengan Dimar, menepuk punggung Dimar di depan Awan—supaya Awan kesal, lalu berdebat dengan Dimar. Jelas saja Dimar akan membela Jenaka. Perempuan itu sangat pandai mencari muka!

"Aku bela-belain datang ke sini buat ketemu kamu, supaya kita bisa baikan. Tapi reaksi kamu kayak gini? Kamu udah berubah, Mar." Awan mengeluh soal perubahan Dimar untuk kesekian kalinya.

"Nggak ada yang berubah, Wan. Tolong kamu ngerti. Aku masih berduka atas meninggalnya Nasti." Dimar menutup wajahnya, lantas mendesah, jengah.

Awan menyeringai. "Kalau udah mati, ya mati aja, Mar! Udah jadi takdir dia!" bentaknya. "Mau kamu tangisin sampai air mata kamu habis, Nasti udah dikubur di dalam tanah!"

"Wan!" Dimar geram, ia menunjuk Awan.

Untuk beberapa saat, Awan kehilangan kata-kata. Baru saja Dimar membentaknya cuma untuk membela Nasti. Orang yang sudah mati, dan tubuhnya telah ditimbun tanah. Mau masih hidup, sudah mati sekali pun, Nasti tetap menjadi pengganggu hubungan Awan dan Dimar.

Kebaikan seperti apa yang dilakukan Nasti sampai Dimar sesedih itu? Dimar jadi mengabaikan Awan, selalu menghindari keluhan Awan.

Makanya jangan salahkan Awan jika membenci Nasti sejak dulu. Karena Dimar pasti akan lebih membela Nasti daripada dirinya. Dimar akan meminta Awan agar lebih sabar. Dimar selalu memaklumi tingkah bar-bar Nasti, tapi Dimar tidak pernah menghargai Awan.

"Maaf. Aku nggak maksud bentak kamu, Wan," ujar Dimar menyesal. "Bisa tinggalin aku sendiri buat sementara? Aku akan temui kamu setelah perasaan aku lebih tenang."

Awan menjadi sangat kecewa. Harapan ia kemari untuk berbaikan. Tapi Dimar malah menyuruhnya pulang. Awan menatap Dimar kecewa, tanpa mengucapkan sepatah kata pun lelaki itu meninggalkan ruang kerja Dimar, membanting pintu sangat keras.

Di halaman rumah Dimar, Awan melebarkan langkah. Sebelum ia mencapai ke mobil yang ia parkir, Awan menatap rumah Dimar dengan sepasang mata yang merah menahan kesal.

Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan kunci mobil. Saat tangan kanannya terulur menggapai pintu, dua orang lelaki menghampiri Awan, menyapa Awan, "Bapak Awan Prawiro?" sapanya, membuat Awan menatap bingung.

"Iya, saya." Awan menutup mobilnya kembali. "Siapa, ya?" tanyanya.

***

Dua hari berturut-turut Jenaka menemani Ibu mertuanya pada acara amal. Ketika Jenaka diajak pertama kalinya, Jenaka lantas mengangguk. Ia dengan semangat mengiyakan ajakan Melati.

Jenaka yang tidak memiliki aktivitas apa-apa selain tidur, menonton TV, bermain ponsel—dan bisa seharian tanpa bosan, terang saja menjadi senang. Toh, acara yang akan ia datangi juga sangat bermanfaat. Bahkan Jenaka membongkar seluruh ia lemari bajunya, mengumpulkan baju-baju yang sudah tidak ia pakai, tapi masih terlihat seperti baju baru.

Perempuan dan belanja, baik online mau pun datang ke tempatnya langsung, memang sudah melekat. Jenaka sering membeli baju, tapi ia baru memakaianya beberapa kali, bahkan ada yang belum pernah dipakainya sama sekali karena terlalu sering ia berbelanja. Maka dari itu, ketika ia diberitahu akan diajak ke tempat amal, Jenaka berinisiatif menyumbangkan barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi.

Jenaka memegangi belakang lehernya. Sepulang dari acara amal semalam, Jenaka langsung mandi dan mengganti bajunya. Jenaka berbaring sambil bermain ponsel, namun tidak lama Jenaka ketiduran di kamar sampai Lembayung pulang dari kantor. Semula Lembayung membiarkan Jenaka tidur, tapi setelah diberitahu Bi Sumi jika istrinya belum makan malam, Lembayung membangunkan Jenaka.

Kedua mata Jenaka seperti lengket, susah sekali untuk dibuka. Telinganya bisa menangkap suara Lembayung, tepukan di lengannya pun terasa. Namun, Jenaka enggan bangun. Bibirnya bergerak, mengatakan ia tidak lapar. Ia hanya butuh tidur.

"Ish! Lembayung..."

Jenaka merengek, membuka matanya sebentar melihat Lembayung memaksanya duduk bersandar ke tumpukkan bantal di belakang punggungnya.

Posisi Jenaka menjadi setengah berbaring, tapi tetap memejamkan mata lagi. Ia tahu Lembayung menyodorkan sendok di depan bibirnya.

"Aku ngantuk! Bukan laper," keluh Jenaka mengacak rambutnya sendiri.

Lembayung tidak mengatakan apa-apa, dan terus menempelkan ujung sendok ke bibir Jenaka. Jenaka terpaksa membuka mulutnya, mengunyah makanannya sembari memejamkan matanya.

"Dikunyah makanannya, Jen," tegur Lembayung.

"Aku ngantuk, tahu!" gerutu Jenaka kesal sendiri.

"Kamu bisa tidur lagi kalau udah makan. Jangan sampai kamu sakit, terus Mama nyalahin aku."

Jenaka membuka kedua matanya, menatap Lembayung, sengit. "Jadi, kamu bela-belain nyuapin aku, karena takut dimarahin sama Mama?"

"Bukan, Jen." Lembayung menghela napas.

"Tapi secara nggak langsung, kamu bilang kayak gitu." Jenaka malah mengomel.

Lembayung menjadi serba salah. Ia perhatian, Jenaka tidak percaya. Tidak perhatian, dianggap tidak punya perasaan. Terkadang Lembayung bingung menghadapi suasana hati Jenaka. Ada saja yang dianggap salah oleh perempuan itu.

"Aku yang buatin makanannya, Jen."

Jenaka memicingkan mata. "Masa? Bi Sumi udah masak, kok. Ngapain masak lagi?"

"Maksudnya, aku yang hangatin makanannya," sahut Lembayung, kemudian meringis karena Jenaka memukul punggungnya dengan bantal.

"Hangatin makanan, sama masak itu beda Lembayung!"

"Tapi tetap pake usaha, kan? Harusnya kamu hargai itu, Jen," sahut Lembayung. Jenaka mencebikkan bibirnya.

Jenaka menghidupkan westafel, menundukkan punggung untuk membilas wajahnya. Begitu Jenaka membuka mata, Jenaka melihat adanya tetesan berwarna merah pada punggung tangannya.

Tetesan darah itu semakin banyak. Ada lebih dari satu, dua, dan bertambah banyak lagi. Jenaka melihat wajahnya di cermin. Ia menjadi terkejut, ternyata tetesan merah itu berasal dari kedua lubang hidungnya.

Kedua tangan Jenaka dengan cepat menyekanya, menjadi sangat panik karena darahnya yang menetes tidak kunjung berhenti. Jenaka hendak keluar kamar. Namun sebelum tangannya menggapai knpo pintu, kepala Jenaka menjadi sangat pusing. Ia sampai berpergangan ke dinding. Jenaka hilang keseimbangan, kemudian tubuhnya jatuh terduduk di lantai kamar mandi.

Sementara itu di lantai bawah, Lembayung menunggu Jenaka turun. Sebelum ia keluar kamar, Jenaka mengaku akan menyusulnya ke meja makan setelah mencuci muka. Tapi sampai sekarang Jenaka tidak kunjung turun juga.

Lembayung mendorong kursinya ke belakang, beranjak dengan cepat lalu pergi ke arah tangga. Mengingat Jenaka kelelahan setelah ikut acara amal diajak oleh sang Ibu, Lembayung jadi khawatir. Apa lagi Jenaka bangun dengan wajah yang pucat.

"Jen..."

Lembayung membuka pintu dan terbengong. Jenaka tidak ada di ranjang. Ia pergi ke pintu kamar mandi. Entah kenapa perasaan Lembayung menyuruhnya untuk membuka pintu. Dan benar saja, saat pintu kamar mandi dibuka, Lembayung melihat Jenaka telah berbaring di lantai kamar mandi.

Jenaka tidak sadarkan diri.

"Jen, bangun..." Lembayung memangku kepala Jenaka. Ia menyentuh darah di hidung dan melihat ke tangan Jenaka. "Jenaka, bangun! Jen..."  











To be continue---

Ayo, Kita Cerai! Where stories live. Discover now