Diskusi Antara Teman

8.2K 643 46
                                    

Sepertinya orang-orang telah salahpaham kepada Lembayung selama ini. Bahkan di mata Ayah kandungnya sendiri, Lembayung kelihatan tidak pernah perhatian pada Jenaka. Baiklah, Lembayung mengakui jika hubungannya dengan Jenaka memang sempat dingin. Bukan sempat, sih... bagaimana menjelaskannya, ya. Karena hubungan dingin itu berlangsung selama tiga tahun.

Begini jelasnya, Lembayung dan Jenaka dulunya mengurus hidup masing-masing biarpun tinggal di satu atap. Dalam artian, status mereka cuma sekadar formalitas saja. Orang-orang tahunya mereka pasangan suami-istri. Tapi di dalam rumah, mereka hidup sesuai keinginan mereka. Namun, bukan berarti Lembayung tidak tahu bagaimana Jenaka jika di rumah. Pada siapa saja Jenaka bergaul dengan teman-temannya. 

Sehari setelah acara reuni malam itu, setelah tahu Jenaka dijemput Dimar pagi-pagi sekali, Lembayung pergi mencaritahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Jenaka pada acara reuni semalam. Kenapa bisa Jenaka sampai pulang dalam keadaan kaki terluka dan menangis. Ia masih menyimpan kertas yang diberikan Bi Sumi padanya. Pergi mendatangi acara reuni di adakan. Dan setelah sampai di sana, Lembayung melihat rekaman CCTV semalam. Dari sana ia baru tahu kalau Jenaka menjadi bahan olokan teman-temannya. Bahkan tidak ada yang berani membela satu pun. Lembayung mencermati satu per satu wajah orang-orang yang menghina istrinya. Saat itu lah Lembayung mencaritahu siapa Cantika dan Aufal.

"Jelasin." Jenaka mengubah posisi berdirinya menjadi menyamping menghadap Lembayung. "Aku nggak nyangka kalau dalang di balik penangkapan Cantika itu suami aku sendiri."

Lembayung mengembuskan napas. Ia balas menatap istrinya. "Bukan aku mau bela diri. Aku akui, iya. Tapi Cantika ditangkap atas kesalahannya sendiri. Bukan karena aku yang ngenalin dia sama teman kencan dia, terus jebak dia di hotel."

Jenaka bergumam, "Terus, Aufal. Kamu juga yang cepu, ya?"

Terpaksa, Lembayung menganggukkan kepala. Ia dan orang kepercayaannya telah lama mengintai Aufal. Setelah tahu rahasia apa yang dimiliki lelaki itu, Lembayung diam-diam mengirim informasi tersebut kepada Brams Jorgi, berikut foto-foto mesra Aufal dan istri Brams.

"Lembayung!" pekik Jenaka memegangi kepalanya. Ia tidak tahu jika suaminya akan seniat itu memberi pelajaran kepada Cantika dan Aufal.

"Aku nggak akan minta maaf sama mereka, sekali pun kamu yang nyuruh. Aku merasa nggak salah. Harusnya mereka minta maaf ke kamu dari pertama." Lembayung bersikeras, tidak akan sudi meminta maaf kepada kedua manusia itu.

"Benar kata orang," desah Jenaka. "Kita akan tahu orang itu seperti apa setelah menjadi dekat."

"Maksud kamu?" tanya Lembayung, bingung.

"Aku baru lihat sisi lain kamu yang baru aku ketahui setelah kita tiga tahun menikah. Aku nggak nyuruh kamu minta maaf sama mereka. Aku cuma mau kamu mengakui aja. Jujur aja, aku kaget banget." Jenaka menurunkan pandangan. Ia bingung harus terharu, atau kecewa.

Jenaka pikir Lembayung tidak pernah memerhatikan dirinya. Ternyata diam-diam Lembayung mencaritahu kejadian di malam reuni. Tapi walau pun begitu, Jenaka tidak ingin Lembayung melakukan hal licik hanya untuk membela dirinya. Jenaka sudah memaafkan orang-orang yang telah menyakitinya. Soal membalas, biar Tuhan saja yang membalas perlakuan Cantika dan Aufal kepada dirinya di masa lalu.

Kepala Jenaka mendongak, menurunkan kedua bahu lalu melangkah ke dekat Lembayung sebelum mengulurkan kedua tangannya melingkari pinggang lelaki itu.

Lembayung menjadi kebingungan. Ia pikir Jenaka akan marah kepadanya seperti saat ia menyembunyikan kasus Nasti. Tapi yang terjadi malah Lembayung dipeluk, di depan umum pula.

"Jen," bisik Lembayung menepuk belakang kepala istrinya pelan.

Lembayung menjadi canggung ketika orang yang berlalu-lalang menatap ke arah mereka berdua. Namun Jenaka tetap cuek, malah kelihatan nyaman.

"Ada rahasia apa lagi selain ini?" gumam Jenaka di pelukan Lembayung.

"Nggak ada, Jen," jawabnya.

"Awas aja bohong," ancam Jenaka. "Kalau sampai ketahuan kamu masih simpan rahasia lagi, aku nggak mau ngomong sama kamu."

Tidak ingin menjadi perhatian lebih banyak orang, Lembayung melingkarkan tangan ke bahu Jenaka. Membawa perempuan itu pergi menjauhi keramaian sebelum mereka di viralkan oleh orang-orang dan dianggap tidak tahu tempat di saat bermesraan.

"Kok, dilepas sih?" protes Jenaka.

Lembayung berbisik, "Di rumah aja kalau mau pelukan, Jen. Di sini malu dilihatin orang."

Jenaka memutar kepalanya lalu meringis. Ia baru sadar walau mereka sudah agak jauh, ia menyadari bahwa pandangan orang-orang tertuju kepada ia dan Lembayung.

"Kenapa nggak ngasih tahu, sih!" seru Jenaka, menarik sebelah sisi jas Lembayung dan menyembunyikan wajahnya di sana. "Aku jadi malu, tahu!"

"Aku udah malu dari tadi, Jen," balas Lembayung, melas.

***

"Jadi pendonor setelah meninggal, ya?" gumam Dimar lalu berpikir sebentar.

"Iya, Mar," sahut Jenaka.

"Setahu gue sih, sebelum jadi pendonor, lo harus ngikutin serangkaian tes gitu. Biar tahu lo dalam kondisi sehat atau nggak," terang Dimar.

Giliran Jenaka yang diam. Ia melirik Dimar yang sibuk mengutak-atik ponselnya. Dahinya berkerut, bibirnya bergerak tanpa suara seolah sedang membaca sesuatu dari ponsel.

"Kalau calon pendonornya lagi sakit, itu gimana Mar?" tanya Jenaka hati-hati.

Dimar melepas kaca matanya. Menatap Jenaka curiga. "Tiba-tiba lo bahas soal donor organ. Buat apa, Jen?"

Jenaka gelagapan. "Gue cuma nanya doang. Iseng sih, Mar. Daripada lo nggak ada teman diskusi, kan."

"Tapi gue nggak lagi pengin diskusiin apa-apa sama lo." Dimar menyahut, Jenaka mendecakkan lidah. "Nih, gue cari di internet. Pendonor harus dalam keadaan sehat. Kalau pun dalam keadaan sakit, tetap harus dilakukan serangkaian tes. Karena kalau penyakitnya udah kronis, biar tahu organ mana yang udah kesebar. Paling yang bisa disumbangkan organnya kayak mata, misalnya. Ini gue baca di internet, ya. Selebihnya bisa konsultasi sama Dokter."

Jenaka berniat menyumbangkan organ tubuhnya ketika ia meninggal nanti. Tapi ia teringat sakit yang dideritanya, sangat kecil kemungkinannya Jenaka bisa menyumbangkan organ tubuhnya ketika meninggal nanti.

"Jen," panggil Dimar.

"Ya?" Jenaka menyahut dengan sorot mata melamun.

"Lo nggak lagi sakit, kan?" tanya Dimar, serius.

"Oh?" gumam Jenaka, kemudian menggelengkan kepala. "Gue sehat banget, Mar." Jenaka memaksakan senyumnya.

"Jangan ada yang ditutupi lagi, ya. Gue nggak mau kejadian kayak Nasti terulang. Tinggal lo doang teman gue, Jen." Dimar bergumam sedih.

Setelah Nasti meninggal, Dimar baru mengetahui jika Nasti menyimpan banyak rahasia. Termasuk kasus pelecehan yang menimpa Malaka, adiknya.

Bagi Dimar, Nasti dan Jenaka sama-sama berarti buat Dimar. Jika salah satu dari mereka pergi, Dimar bukan cuma sedih, tapi akan sangat kehilangan.

"HP lo bunyi, Jen." Dimar memecahkan keheningan di ruangan itu, menggerakkan dagu menunjuk ponsel di pangkuan Jenaka.

Jenaka berhenti melamun. Ia meraih ponsel, mengangkat panggilan dari nomor Kamya. "Dari Kamya," ujar Jenaka melirik Dimar sekilas.

"Ya udah, angkat aja. Siapa tahu penting."

Jenaka mengangkat panggilan tersebut, menempelkan benda persegi itu ke sebelah telinganya. "Halo, Ya. Kenapa?" sapa Jenaka. Seperdetik kemudian muncul kerutan di dahi perempuan itu. "Terus gimana? Udah cari Malaka ke mana aja?"

Dimar beranjak dari kursi kerjanya, menghampiri Jenaka sembari menunggu temannya selesai berbicara di telepon dengan Kamya.

"Kenapa sama Malaka?" tanya Dimar.

"Malaka kabur dari rumah penampungan Sina. Gue mau ke sana buat bantu Kamya sama yang lain cari Malaka," jawab Jenaka.

"Gue ikut, Jen," seru Dimar.  













To be continue---

Ayo, Kita Cerai! Where stories live. Discover now