Tidak Punya Malu?

11.9K 1K 39
                                    

Jenaka sudah mengambil keputusan dengan benar, kan? Ia memilih mundur, mengubur keinginannya untuk bersama Lembayung walau dalam kepura-puraan. Jenaka tidak tahan lagi, lebih baik ia fokus kepada dirinya sendiri. Memanfaatkan sisa waktu yang ia miliki.

Mobil hitam Jenaka telah sampai di halaman rumah mertuanya. Jenaka menyambar tas cokelat mudanya, beserta ponsel yang semula terletak di samping kursi kemudi. Setelah ia membawa kedua barang tersebut, Jenaka turun dari mobil lalu menutup pintunya kembali.

Kedua kaki Jenaka berada di depan pintu rumah keluarga Wirlana. Ia menghirup napas lebih banyak. Sebentar lagi ia akan menghadapi Mama dan Papa mertuanya untuk mengabarkan berita... apa? Mungkin akan menjadi kabar duka bagi kedua orang tua Lembayung. Karena harapan mereka kepada anak dan menantunya telah pupus. Namun, keputusan Jenaka mengiyakan perpisahan itu, Lembayung tentu menganggapnya sebagai kabar baik. Jika perlu lebih cepat agar bisa menikahi perempuan bernama Alisa yang dilihat Jenaka kemarin.

Sampai di ruang tamu, Jenaka tidak menemukan siapa-siapa. Jenaka mengangkat wajah menatap lantai dua rumah mertuanya. Jenaka memutuskan menaiki anak tangga. Pasti Mama atau Papa mertuanya ada di sana.

"Non Jenaka," sapa asisten rumah tangga di rumah itu.

Jenaka akan menginjak anak tangga pertama, namun urung saat ART menyapa, lantas menghampirinya. "Iya, Bi. Mama sama Papa ada?"

"Ada, Non," jawab Bi Suti.

"Aku susul Mama sama Papa di lantai atas ya, Bi," ujar Jenaka, meletakkan tangan kanannya ke pagar tangga.

Bi Suti kelihatan ragu, seperti ingin memberitahu sesuatu. "Non Jenaka..."

Jenaka memutar badan, menyahut, "Kenapa, Bi?"

"Non Jenaka ke sini sendirian? Den Lembayung nggak ikut?" tanya Bi Suti.

Jenaka terdiam sesaat, ia tetap menjawab, "Nggak, aku sendirian aja. Karena ada keperluan sama Mama dan Papa. Memang kenapa, Bi?"

Bi Suti akan membuka mulut. Namun langkah kaki dari anak tangga paling atas membuyarkan lamunan wanita itu. Jenaka mengikuti gerakkan kepala Bi Suti. Jenaka menaiki anak tangga menghampiri Ibu mertuanya.

"Mama..."

Melati menghentikan langkah, segera mengusap kedua sudut matanya. Raut wajah sedih wanita itu berubah menjadi hangat ketika mendapati menantunya datang ke rumah.

"Jen," sapa Melati, mengusap lengan Jenaka lembut. "Kamu kapan datang? Sama Lembayung?"

Jenaka menahan diri agar tidak mendengus. Sudah dua orang yang menanyakan keberadaan Lembayung padanya. Padahal selama ini Jenaka lebih sering datang sendiri daripada bersama Lembayung.

Sekarang Jenaka tidak peduli Lembayung pergi ke mana, dengan siapa, bagaimana rupa perempuan yang disukai Lembayung. Mulai dari sekarang Jenaka belajar melepas orang yang ia cintai. Lembayung akan mendapat kebahagiaannya, dan Jenaka, akan mencari kebahagiaannya sendiri tanpa Lembayung.

"Aku ke sini sendiri, Ma," jawab Jenaka.

Melati mengelus rambut Jenaka. "Kamu udah makan? Mama temani kamu makan, ya. Kebetulan Mama lagi bikinin makanan kesukaan kamu."

Jenaka bukan menjawab pertanyaan Ibu mertuanya. Melainkan memerhatikan kedua mata Ibu mertuanya yang sembab, ujung hidungnya menjadi sangat merah seperti habis menangis.

"Mama habis nangis?" Jenaka menaiki satu anak tangga lagi, mempersingkat jarak antara dirinya dan Melati.

Sebelum Melati memberi penjelasan, Dozen Wirlana tahu-tahu muncul dari atas, membuka mulut hendak memanggil istrinya.

Dozen merapatkan bibir, ia menjadi terkejut karena menantunya sedang bersama sang istri.

Jenaka cukup peka. Ia menebak jika terjadi sesuatu di antara Ibu dan Ayah mertuanya.

***

Nasti kelaparan di siang hari, ia memutuskan pergi ke salah satu gerai ayam goreng yang terkenal itu. Hari ini ia masuk shift siang lagi, dan akan pulang malam lagi seperti kemarin. Ia butuh makan sebelum pergi bekerja.

Tidak ada Jenaka mau pun Dimar. Ia terpaksa pergi sendiri, makan sendiri, tapi begini lah hidup di kota orang, sementara keluarganya ada di kampung.

Nasti memesan nasi, dada ayam, dan segelas cola, setelah ia membayar makanannya, Nasti segera membawa nampan lalu mencari tempat duduk. Ia menemukan meja di ujung, satu-satunya tempat kosong yang bisa ia duduki. Dengan cepat Nasti pergi ke meja tersebut sebelum ia diserobot oleh orang lain.

Nasti memilih makan di tempat karena dari sini, ia langsung pergi ke pabrik tempat ia bekerja. Di saat teman-teman kuliahnya dulu bekerja di tempat keren, berdasi, memakai jas, Nasti berakhir menjadi seorang buruh pabrik dikarenakan ia tidak bisa melanjutkan kuliah karena terbentur biaya. Tapi tidak masalah, menjadi buruh juga keren. Nasti bisa membeli barang-barang yang ia inginkan walau harus menabung dulu. Nasti bisa membiayai kedua orang tua, menyekolahkan adik-adiknya.

Sambil makan, Nasti mengedarkan pandangan. Ia suka memerhatikan sekitar, dan akan berbisik dengan Jenaka dan Dimar jika menemukan penampilan nyeleneh seseorang. Namun, berhubung ia sendirian, Nasti cuma bisa memendamnya, lantas menjadikan bahan ghibah ke grup chat yang isinya cuma mereka bertiga. Jenaka, Nasti, dan Dimar.

Sepasang mata Nasti mengikuti dua orang yang baru saja masuk. Kebetulan ada satu meja yang telah kosong. Nasti sepertinya mengenali si lelaki. Tidak salah lagi. Itu Lembayung, suaminya Jenaka.

Tangan kiri Nasti menyambar gelas cola miliknya, ia meneguk minumannya sambil terus memerhatikan Lembayung bersama-entah siapa, yang jelas itu bukan Sina saudara sepupu Lembayung. Sina tidak setinggi itu. Dan Nasti mengenal Sina walau cuma beberapa kali bertemu.

Nasti menelan nasinya sebelum ia kunyah. Lembayung terlihat sangat perhatian pada perempuan itu. Nasti menjejalkan sisa nasi ke dalam mulutnya buru-buru. Si perempuan kembali sendirian sembari membawa nampan, sementara Lembayung pergi ke arah toilet.

Tidak bisa dibiarkan! Berani sekali Lembayung bermain gila di belakang Jenaka!

Perempuan yang dilihat Nasti adalah Alisa. Iya, Alisa. Teman masa SMA Lembayung yang kini menjadi incaran lelaki itu. Nasti menyambar sisa cola-nya, pergi ke arah meja teman perempuan Lembayung. Halah, teman? Mana ada teman tapi mesra seperti tadi! Nasti melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Lembayung sangat perhatian pada perempuan itu. Ekspresi wajahnya yang selalu konsisten kaku berubah menjadi sumringah, banyak tersenyum.

Nasti berdiri di samping kursi Alisa, menundukkan pandangan agar bisa melihat wajah Alisa lebih jelas. Alisa menyadari ada seseorang di sebelahnya, ketika Alisa mengangkat kepala, Nasti tahu-tahu mengguyurkan cola-nya dari atas kepala Alisa.

Sontak, tempat makan itu menjadi riuh akibat pekikan orang-orang di sekitar. Mereka terkejut karena Nasti tiba-tiba mengguyur Alisa.

Alisa bangun dari tempat duduk, mengusap wajah dan rambutnya yang menjadi basah. Nasti menatap Alisa tajam, lantas memaki Alisa. "Cantik, sih... tapi pelakor!"

Alisa bingung. Ia kemudian bertanya, "Kamu siapa? Kenapa nyebut saya pelakor? Kita nggak saling kenal."

Nasti menunjuk ke arah toilet. "Lelaki tadi, yang masuk barengan sama lo ke sini udah punya suami. Lo tahu, nggak? Tahu, tapi pasti pura-pura nggak tahu, ya?"

"Kamu istrinya Lembayung?" tanya Alisa.

"KALAU IYA, KENAPA?!" bentak Nasti. "Siapa pun istrinya Lembayung, lo nggak berhak deketin suami orang lain. Nggak malu? Atau memang nggak punya malu?" Nasti mendecakkan lidah. "Nggak punya malu sih, pasti. Kalau punya, lo nggak mungkin mepet suami orang!"












To be comtinue---

Ayo, Kita Cerai! Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt