Momen di Bioskop

9.8K 830 28
                                    

"Film-nya belum mulai, kan?" 

Jenaka menyimpan ponselnya ke dalam tas, kemudian menoleh ke tempat duduk di sampingnya. "Belum, kok. Eh, kok kamu cepat banget dari toilet-nya? Nggak jadi?"

"Jadi," jawab Lembayung mengarahkan pandangan ke layar. "Mau ngapain lama-lama di toilet, sih."

Lembayung mencoba menutupi sesuatu dari Jenaka. Ia juga tidak berniat menceritakan pertemuannya dengan Alisa di lorong toilet. Toh, pertemuan mereka hanya sekadar saling menyapa.

Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Alisa di bioskop. Terakhir kali ia bertemu dengan Alisa, di hari Alisa disiram minuman oleh Nasti. Lembayung tetap meminta maaf atas kejadian itu, sekaligus meluruskan jika perempuan yang menyiram Alisa di gerai ayam, bukanlah Jenaka. Melainkan Nasti, teman Jenaka. Namun, Alisa enggan membalas pesannya. Lembayung paham kalau Alisa masih marah. Karena Nasti cukup keterlaluan saat itu. Tidak tanya dulu, tiba-tiba saja menyiram Alisa di depan umum.

Tidak banyak interkasi di antara Lembayung dan Alisa tadi. Lembayung menjadi canggung, Alisa menahan diri agar tidak menahan lelaki itu pergi. Ia telah berjanji agar tidak memikirkan hal selain putranya, Nilo.

Alisa cuma mengatakan sebelum mereka pergi ke arah tujuan masing-masing. "Aku minta maaf buat kejadian terakhir kali."

Lembayung mengangguk kecil. "Sama, aku juga minta maaf. Tolong maafkan Nasti atas kejadian di gerai, ya."

Nasti telah meninggal. Lembayung berharap Alisa mau memaafkan mendiang Nasti, tidak meninggalkan dendam, mengingat Nasti sudah tiada beberapa hari lalu.

Sepeninggal Alisa, Lembayung urung pergi ke toilet. Padahal ia cukup berbelok ke arah kiri saja. Namun, Lembayung memilih menyusul Jenaka yang telah menunggunya di dalam teater. Mungkin film yang akan mereka tonton sudah mulai.

Dugh!

Jenaka memegangi belakang kepalanya, menoleh ke penonton yang ada di kursi belakangnya persis. Sepanjang film diputar, dua perempuan itu banyak berbicara, tidak punya sopan dengan menaruh kakinya ke kursi bagian belakang Jenaka. Ia pun geram, semakin ia biarkan, kedua perempuan itu makin menjadi.

"Nggak sopan banget, sih." Walau kesal setengah mati, Jenaka tetap menjaga suaranya agar tidak menggangu penonton yang lain.

Bukan cuma Jenaka saja yang merasa terganggu dengan suara dia perempuan itu. Tapi penonton dari deretan yang sama pun, merasakan kesal juga.

"Gue jadi nggak fokus nontonnya," gerutu Jenaka.

Lembayung mendengar rentetan omelan Jenaka di setelahnya. Sebenarnya Lembayung tidak terlalu suka menonton di bioskop. Ia bahkan jarang pergi kemari. Tapi berhubung Jenaka suka menonton, Lembayung pun mengalah. Anggap saja sebagai permintaan maaf darinya karena telat datang saat mereka membuat janji untuk makan siang bersama.

"Ish...," jerit Jenaka menahan suaranya. Kesepuluh jarinya sampai ia remas akibat terlalu geram.

Bayangkan saja, saat kalian ingin menonton sebuah film di bioskop, dengan harapan mendapat ketenangan saat menontonnya, justru ketenangan kalian diganggu oleh orang—yang tidak punya sopan santun—membuat keributan, kegaduhan, suara cekikikan yang sangat mengganggu! Kenapa tidak menonton di rumah saja kalau begitu? Tunggu sampai flim-nya tayang di TV saat tahun baru. Mereka mau haha-hihi sampai rahangnya copot, menonton sambil jungkir balik Jenaka juga tidak peduli! Masalahnya yang menonton bukan cuma mereka saja, tapi ada banyak orang! Dan mereka sama-sama bayar!

Jenaka menghela napas, dan mengembuskannya perlahan. Ia meletakkan kedua tangan ke lengan kursi, lantas menarik napas sekali lagi.

"Lain kali mau ajak aku nonton lagi, nggak?"

Tiba-tiba, Jenaka melempar pertanyaan pada Lembayung. "Kamu nanya aku?"

Jenaka agak mencondongkan tubuhnya ke depan hingga kepalanya menyentuh punggung kursi penonton di depan. "Menurut kamu, suami aku itu mas-mas di ujung sana?" tunjuk Jenaka ke dua kursi di samping Lembayung. Tidak disangka, lelaki itu juga melihat ke Jenaka, menyunggingkan senyum, seolah menyapa Jenaka.

Jenaka bergidik, ia menyandarkan punggung ke kursi.

Lembayung melihat lelaki tadi tersenyum ke istrinya. Bukan Jenaka yang membalas, melainkan Lembayung, sampai lelaki itu menjadi salah tingkah.

"Jangan nunjuk orang sembarangan," tegur Lembayung. "Kalau orangnya naksir kamu, gimana?"

"Makanya kamu jangan nanya aneh-aneh," sungut Jenaka.

"Aku akan ajak kamu nonton lagi, selama kamu minta."

"Aku punya syarat kalau gitu." Jenaka meninggikan dagunya.

"Apa?"

"Kamu harus sewa satu bioskop kalau ajak aku nonton lagi. Biar aku nontonnya tenang."

Lembayung mengerutkan dahi. "Mubazir banget, Jen. Kita nonton cuma berdua, tapi sewanya satu teater. Kamu pikir aku sekaya itu?"

Jenaka mendesis, ia menusuk-nusukkan ujung jarinya ke lengan Lembayung. "Jangan sok merendah, gitu. Kamu tuh, cucu tertua keluarga Tedja. Sina nggak kerja aja bisa hidup enak. Wara-wiri luar negeri bisa. Masa kamu, nggak? Masih kerja pula, didukung jadi anak pengacara terkenal!"

Lembayung mendelik, ia memberi isyarat supaya Jenaka memelankan suaranya. "Suara kamu jangan keras-keras. Ganggu orang lain," peringat Lembayung. "Aku jelasin, ya. Aku memang cucunya Sarah Tedja, anaknya Dozen Wirlana, tapi secara pribadi, aku bukan siapa-siapa. Aku lagi merintis dari bawah. Aku mau sukses, kaya, dari hasil kerja keras aku sendiri."

Jenaka manggut-manggut, ia mencebikkan bibir, diam-diam ia merasa bangga pada Lembayung. Tapi sungguh, Lembayung bukan dari keluarga sembarangan. Mendiang Nenek Lembayung saja, Darah Tedja—pendiri hotel mewah, memiliki banyak cabang, belum lagi aset lainnya. Jika dibandingkan dengan keluarga Jenaka, tidak ada apa-apanya.

Tangan kanan Lembayung menyentuh sudut bibir Jenaka. Ia menemukan sisa remahan pop corn. Jenaka terdiam, ia berhenti menertawakan Lembayung.

Ada yang salah dengan jantungnya... bunyi detakannya menjadi lebih keras, kuat, Jenaka takut pingsan setelahnya. Jenaka memalingkan wajah ke sisi kiri. Jenaka menelan ludah, ia merasa badannya berubah menggigil. Ia kenapa? Gugup?

"Jen," panggil Lembayung.

Jenaka terlalu terburu ketika memalingkan wajahnya ke sisi kanan—ke tempat Lembayung duduk. Wajah mereka menjadi sangat dekat, namun masih memiliki jarak.

Baru kali ini Jenaka menatap wajah Lembayung sangat.... dekat. Jenaka menahan napas, bahkan untuk mengedipkan matanya, Jenaka tidak bisa.

Dugh!

Jenaka menjadi kaget karena kursinya ditendang lagi oleh penonton di belakang. Fokus Jenaka menjadi dua. Antara Lembayung, atau melabrak dua penonton rusuh tadi.

Jenaka akan berdiri, bersiap melabrak dua perempuan itu. Tapi, Lembayung menarik tangannya sampai Jenaka duduk lagi ke kursi. Jenaka tambah kesal. Ia berniat melampiaskannya kepada Lembayung. Hanya saja, tubuh Jenaka menjadi kaku. Telapak tangan Lembayung yang hangat menyentuh sebelah pipinya, menarik belakang kepalanya menjadi sedikit lebih maju.

Detik itu, Jenaka berubah menjadi patung. Di tengah ketegangan para penonton akibat salah satu adegan di film, Jenaka malah sibuk menenangkan jantungnya. Jenaka menumpuk kedua tangannya ke lengan kursi. Sementara itu, Jenaka tidak melakukan tindakan apa-apa selain diam, dan membiarkan Lembayung menggagahi bibirnya.  












To be continue---

Ayo, Kita Cerai! Where stories live. Discover now