Memanfaatkan Sisa Waktu

10K 829 40
                                    

Di akhir pekan ini, Jenaka mengajak Lembayung menginap di rumah Wirlana. Sesuatu yang hampir tidak pernah mereka lakukan. Mereka akan datang kemari, atau pergi ke rumah orang tua Jenaka, tapi hanya sebatas menjenguk, kemudian akan pulang sore harinya. 

Kali ini beda daripada biasanya. Jenaka memaksa Lembayung agar sesekali menginap di rumah orang tuanya. Mereka bisa datang saat sabtu malam, dan keesokkan paginya mereka kembali ke rumah.

Jenaka berkeinginan meluangkan waktunya bersama Ayah kandungnya, dan kedua orang tua Lembayung. Jenaka pikir, Jenaka jarang menghabiskan waktu bersama mereka selama ini. Apa lagi dengan ayahnya sendiri, Jenaka bukan cuma jarang bertemu, ia juga jarang berkomunikasi. Namun, akhir-akhir ini Jenaka sering menelpon ayahnya, mengirim pesan hanya untuk menanyakan kabar sang Ayah.

Maka dari itu Ayah Jenaka menjadi bertanya-tanya dalam hatinya. Jenaka ada apa? Hubungan mereka baik, tidak juga buruk, tapi tidak sehangat keluarga di luaran sana. Mungkin karena Ayah Jenaka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja, menangani banyak kasus, sampai lupa memiliki seorang putri.

Tidak ada apa-apa jika hubungan Jenaka dan ayahnya tidak terlalu hangat di masa lalu. Karena ia akan menggunakan sisa waktunya untuk lebih dekat dengan sang Ayah.

Mungkin ini hikmahnya ia tahu berapa banyak waktu yang ia miliki. Supaya Jenaka bisa menggunakan waktunya dengan baik dan benar.

Lembayung menemui ayahnya di ruang kerja. Menyapa Dozen Wirlana yang sibuk membaca berkas di tangan. Dozen menurunkan kaca matanya, menatap anak semata wayangnya duduk di kursi seberang. Dozen menanyakan bagaimana kabar Lembayung dan menantunya, Jenaka.

"Papa dengar kabar, kamu sama Jenaka mau cerai. Apa itu benar?" tanya Dozen secara tiba-tiba.

"Itu nggak benar, Pa," jawab Lembayung, jujur.

Perceraian itu tidak mungkin terjadi di antara ia dan Jenaka. Lembayung menarik semua perkataannya waktu itu. Ia menyesal pernah menekan Jenaka agar mau bercerai dengannya.

Dozen menaikkan kaca matanya, fokus pada berkas yang tengah ia pelajari. Lelaki itu kemudian berkata, "Terakhir kali kamu datang kemari siang itu, tiba-tiba teriak manggil Jenaka, terus nyeret dia keluar. Maksudnya apa? Kamu tahu, Papa paling nggak bisa kamu bohongi."

Lembayung menelan ludah susah payah. Kala itu ia terlalu terbawa emosi. Lembayung lepas kontrol, ia dengan nekat menarik Jenaka di depan kedua orang tuanya, lantas mereka pergi menggunakan kendaraan masing-masing. Di hari yang sama ibunya menelpon Lembayung. Firasat Lembayung mengatakan, ibunya pasti akan menanyakan kejadian siang itu. Lembayung yang terlalu pusing, shock juga karena habis ditampar Jenaka, memilih mengabaikan telepon ibunya. Dan baru sekarang, giliran ayahnya yang menegur Lembayung.

"Papa sama Mama nggak pernah mengajarkan kamu kasar sama perempuan. Terlebih sama istri kamu sendiri. Kamu nyakitin Jenaka, sama aja kamu nyakitin kami." Dozen menutup berkasnya. Menyingkirkannya ke samping sebelum ia kembali berbicara. "Mama, Papa, dan ayahnya Jenaka mempercayakan Jenaka sama kamu, Lembayung. Orang menikah, terus ada masalah itu wajar. Kamu itu suami, lebih tua dari Jenaka, harusnya bisa lebih sabar. Jangan karena terbawa emosi, kamu jadi meluapkannya ke Jenaka. Memangnya nggak bisa ngomong baik-baik?"

Dozen sudah lama mendengar rumor tentang perceraian Lembayung dan Jenaka. Namun ia memilih diam, melihat gerak-gerik anak dan menantunya. Selama menikah pula, Jenaka tidak pernah mengatakan hal buruk tentang Lembayung kepada ia dan Melati. Setiap kali Jenaka ditanya keadaan rumah tangganya, Jenaka selalu mengatakan hal baik.

Lembayung perhatian, Lembayung menjaganya, Lembayung suami yang..., digambarkan hampir sempurna di depan orang-orang.

Sebenarnya Dozen pernah memergoki Lembayung berdebat dengan Sina di rumah Tedja. Dozen mendengar Sina membela Jenaka, sampai perempuan itu memaki Lembayung—padahal Sina sangat dekat dengan Lembayung. Malahan Jenaka sepertinya kurang suka kepada Sina. Dozen juga tidak tahu kenapa.

Ayo, Kita Cerai! Donde viven las historias. Descúbrelo ahora