Kekacauan yang Dibuat Nasti

12.8K 1K 70
                                    

"Jen..." Tangan kanan Nasti bergerak menyentuh pinggang Jenaka, lantas menepuknya beberapa kali. "Jen, bangun, Jen. Dipanggil sama Dimar, tuh!"

Jenaka merasakan tangan Nasti menepuk pinggangnya lebih kuat. Kepala Jenaka terangkat, tangannya menggapai meja nakas di samping tempat tidur. Jenaka melihat jam dari layar ponsel. Pukul sebelas siang.

"Jenaka! Nasti!"

Perempuan itu menggosok rambutnya sendiri. Gantian ia yang menepuk Nasti, tepat di pipinya, dan lumayan kuat juga sampai Nasti meringis, menggapai ujung rambut Jenaka yang terurai.

"Gue hitung sampai seratus dan lo nggak bangun, awas aja," ancam Dimar di luar kamar.

Jenaka dan Nasti saling menatap lalu tertawa bodoh. Mereka menertawakan Dimar. Nasti lebih dulu duduk di atas ranjang, menyilang kedua kaki sembari menunjuk ke pintu.

"Sebelum dihitung sampai seratus, gue balik mimpi lagi." Nasti bergumam, menggaruk kulit kepalanya.

Jenaka tertawa mulanya. Namun seperdetik kemudian ia tersadar. Sepertinya semalam cuma ada Jenaka dan Dimar yang ada di rumah. Jenaka merampas kamar Dimar, sementara si pemilik kamar tidur di ruang kerjanya. Kok, waktu Jenaka bangun, tiba-tiba ada Nasti?

"Lo lewat mana sih, Nas?" Bak orang linglung, Jenaka memutar kepalanya. "Jendelanya nggak muat lo masukin, Nas."

Nasti masih setengah sadar, ia mendorong pipi Jenaka. "Jangan bodoh banget lah, Jen. Lo kelamaan tinggal bareng sama Lembayung kayaknya makanya ikutan bego." Nasti mengoceh. "Semalam gue minta jemput Dimar. Akhir-akhir ini nggak tahu kenapa gue takut pulang sendirian. Kayak ada yang ngikutin gitu."

Nasti bergidik, mengangkat kedua bahunya. Jenaka menyipitkan mata. Sampai Dimar memanggil nama mereka satu per satu dengan suara nyaring, keduanya berebutan turun dari ranjang sebelum Dimar semakin galak.

Dimar capek harus wara-wiri ke dapur, ke kamar, cuma untuk memanggil kedua temannya. Kemarin sore, Jenaka tahu-tahu datang sambil menangis. Tidak menjelaskan alasannya apa, Jenaka hanya bilang bahwa ia merasa sakit hati akibat dituduh atas bukan kesalahannya. Dan malam harinya, Nasti menelpon Dimar, meminta jemput karena lagi-lagi, Nasti merasa dirinya diikuti seseorang. Diikuti apa? Siapa? Nasti lebih mirip seperti petasan banting. Siapa juga yang mau mengganggu perempuan berisik seperti temannya. Belum diculik, mungkin penculiknya sudah angkat tangan karena tidak tahan dengan teriakan Nasti.

"Duh, sayangku, baik banget! Udah dibolehin numpang tidur di rumah, paginya dimasakin. Lo suamiable banget, sih! Rugi banget kalau nggak jadi pacar gue, Mar!" goda Nasti, mengerlingkan sebelah matanya dengan jahil.

Dimar memberengut. "Jijik, Nas!"

Nasti tertawa-tawa. Di sebelahnya muncul Jenaka. Perempuan itu agak lesu. Kedua mata Jenaka menjadi bengkak, akibat terlalu lama menangis. Akh, ia jadi teringat lagi kejadian kemarin siang, kan! Jenaka masih sakit hati setia kali mengingatnya.

"Gosok gigi dulu lo berdua," peringat Dimar.

Nasti mengabaikannya. Ia mencomot omelet buatan Dimar. "Nanggung, Mar. Sekalian habis makan aja, deh. Gue udah cuci muka sama kumur."

"Jorok banget lo, Nas," cibir Dimar.

Jenaka mencium aroma kopi di atas meja. Ia melirik cangkir milik Dimar, menyambarnya, hendak ia sesap isinya.

Dimar menahan tangan Jenaka, kemudian menggelengkan kepala. "Minum air putih. Jangan kopi," ujar Dimar.

Jenaka mencebikkan bibir. Ia beralih pada segelas air putih untuk ia minum. Dimar memasak seadanya, asal kedua teman perempuannya ini bisa makan. Beruntung lagi, Jenaka dan Nasti tidak cerewet.

Ayo, Kita Cerai! Where stories live. Discover now