Waktu itu Kian Menipis

9.6K 743 29
                                    

Jika dipikir lagi, Jenaka sudah sangat keterlaluan kepada suaminya. Lembayung tidak bermaksud menyembunyikan masalah Nasti kepadanya. Tapi Jenaka malah marah-marah, dan memilih mengabaikan Lembayung. 

Seharusnya Jenaka bertanya lebih dulu sebelum ia marah. Ia perlu mendengar alasan Lembayung menyembunyikan rahasia darinya. Jenaka menatap pantulan wajahnya di cermin sembari menyisir rambut cokelatnya. Terakhir, ia menyemprotkan parfum ke leher kanan dan kirinya.

Jenaka pergi ke arah jendela, menarik kedua sisi tirai lalu membukanya. Jenaka memutar badan, duduk di tepi ranjang dengan posisi membungkukkan setengah badannya menimpa dada Lembayung. Tangan kanan Jenaka mengusap pipi suaminya, lantas memberi kecupan singkat di sana.

Lembayung mengangkat sebelah tangannya, meletakkannya ke atas kening menutupi matanya dari sinar matahari yang menembus lewat jendela yang dibuka. Lembayung agak mengangkat kepala, ketika ia bangun dan membuka mata, ia disambut wajah cantik Jenaka.

Tangan kanan Lembayung melingkari punggung Jenaka. Dengan setengah mata yang tertutup, Lembayung berbisik, parau. "Ini masih pagi, Jen. Kenapa pake baju seksi?"

Sontak, Jenaka menurunkan pandangan. Ia secara otomatis menutupi bagian depan bajunya. Seksi apa, sih? Jenaka pikir baju yang ia kenakan biasa saja. Dress sepanjang lutut tanpa lengan bermotif bunga.

Lembayung membuka kedua matanya dengan jelas. Tangannya telah berpindah ke pinggang Jenaka, menariknya sedikit lebih dekat. "Ini hari minggu kan, Jen?" bisiknya, hendak mendaratkan bibirnya ke pipi Jenaka.

Dengan cepat Jenaka membungkam bibir Lembayung menggunakan tangan kanannya. "Jangan jadiin hari minggu sebagai alasan! Ayo, bangun! Kemarin kamu janji mau nemenin aku pergi ke rumah Sina, kan?"

Lelaki itu menghela napas. Ia merebahkan kepalanya ke atas bantal. Lembayung ingin bermalas-malasan di rumah saja. Tapi agaknya Jenaka tidak peka.

Sebagai gantinya karena ia tidak diperbolehkan mencium wajah Jenaka, Lembayung meraih tangan kanan Jenaka lalu menciuminya. Jenaka menjerit kesal, ia memukuli dada Lembayung yang justru menyemburkan tawanya.

"Sakit, Jen," keluh Lembayung pura-pura kesakitan.

Kedua tangan Jenaka berada di atas dada Lembayung. Ia menaikkan dagu, menatap wajah suaminya dari jarak dekat. "Aku mau minta maaf soal kemarin. Setelah aku pikir lagi, aku kekanakkan banget. Padahal niat kamu baik."

Lembayung mengelus kepala Jenaka, kepalanya manggut-manggut mendengar istrinya meminta maaf barusan. "Aku juga salah." Kedua tangan Lembayung menangkup wajah Jenaka, sengaja mengarahkannya di depan wajahnya. "Kamu percayakan masalah ini sama aku, ya? Janji jangan berusaha cari tahu tanpa sepengetahuan aku?"

"Kenapa?" tanya Jenaka.

"Terlalu bahaya, Jen." Tatapan Lembayung berubah lembut sekaligus khawatir. "Kamu cuma perlu duduk dan tunggu perkembangan kasusnya dari aku."

"Kamu juga bisa salam bahaya, Lembayung. Kalau ada apa-apa sama kamu, gimana?" Jenaka menyentuh punggung tangan Lembayung di pipinya.

Lembayung menggerakkan pipi Jenaka, menariknya lebih dekat untuk ia cium keningnya. "Kamu jangan khawatir. Aku bisa jaga diri." Kemudian, Lembayung menarik Jenaka ke dalam pelukannya.

Jenaka tahu Lembayung pasti bisa menjaga dirinya. Tapi sebagai istri, Jenaka juga khawatir jika sesuatu terjadi pada suaminya. Terakhir kali saja, Lembayung hampir ditusuk oleh seseorang. Terkadang profesi Lembayung juga sering menempatkan lelaki itu dalam bahaya.

"Jen," bisiknya di telinga Jenaka.

"Hmm..." Jenaka memejamkan kedua matanya. Ia nyaman berada di pelukan Lembayung.

"Pergi ke rumah penampungan bisa agak siang aja, nggak? Pasti aku anterin kamu nanti." Jenaka mengangkat wajahnya perlahan. Baru saja ia mengerjapkan matanya, Lembayung dengan cepat mengubah posisi mereka. Jenaka tahu-tahu sudah ada di bawah lelaki itu, lalu menarik selimut menutupi tubuh mereka.

"LEMBAYUNG!" jerit Jenaka di bawah selimutnya.

***

Impian Jenaka dulu, ia ingin pergi berkeliling dunia. Maka dari itu ia menyisihkan uangnya sejak ia masih duduk di bangku SMP. Jenaka menyisihkan uangnya sedikit demi sedikit untuk ia tabung. Ketika uang tabungannya terkumpul, Jenaka berniat menggunakannya untuk mewujudkan impiannya.

Uang yang ditabung Jenaka telah terkumpul. Kira-kira cukup untuk berkeliling ke tiga atau empat negara? Namun ia sadar kondisi kesehatannya bisa saja memburuk sewaktu-waktu.

Tiga minggu berlalu setelah diagnosa itu, Jenaka bingung harus senang atau justru sedih karena waktunya kian berkurang. Itu artinya, Jenaka cuma memiliki waktu sebanyak dua bulan lebih satu minggu. Ia bisa melakukan apa di hari-hari kepergiannya semakin dekat. Jenaka sudah tidak ingin berkeliling dunia lagi. Jenaka ingin menggunakan sisa waktunya untuk hal-hal lebih berguna. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga orang di sekitarnya.

Jenaka menatap buku tabungan miliknya. Menatap sisa nominal yang tertera—setelah ia mengirim setengah uang dari tabungannya kepada kedua orang tua Nasti di kampung. Jenaka pikir, keluarga Nasti lebih membutuhkan banyak biaya. Ayah Nasti mengalami kecelakaan di tempat kerja sampai harus kehilangan salah satu kakinya. Maka dari itu Nasti putus kuliah enam tahun yang lalu. Nasti memilih bekerja agar bisa membiayai kedua orang tua beserta adik-adiknya.

Kamya, dan hampir setengah penghuni Rumah Sina keluar, mengerubungi mobil Jenaka yang baru tiba. Jenaka bukan cuma datang bersama Lembayung, tapi juga banyak hadiah, sampai keperluan penghuni di Rumah Sina.

Mulai dari baju, obat-obatan, mainan, perlengkapan bayi seperti; pampers, susu, bedak bayi, dan segala macam keperluan bayi lainnya.

Kamya dipanggil Jenaka, diminta bicara cuma berdua saja. Mereka memilih mengobrol di taman belakang. Sementara yang lain sedang sibuk mencoba pakaian yang diberikan Jenaka untuk mereka semua.

Tabungan Jenaka masih tersisa. Ia menyodorkan buku tabungan miliknya kepada Kamya. Ia pikir, sisa uangnya akan lebih bermanfaat jika ia sumbangkan dengan benar.

Kamya menerimanya, lantas ia bertanya, "Kenapa Bu Jenaka ngasih ini ke saya?" tanyanya, membolak-balikkan benda itu di tangan.

"Tolong simpan ini, ya. Pergunakan buat keperluan orang-orang di Rumah Sina."

"Eh?" Kamya terbengong.

Nominal yang tertera pada buku tabungan itu cukup besar. Kamya sampai harus menanyakannya lebih dari dua kali kepada Jenaka. Dan Jenaka mengiyakannya.

"Aku tahu, Tante Sila sama Sina memberi fasilitas yang terjamin untuk semua orang di sini." Jenaka tersenyum tipis. "Tapi, nggak ada salahnya aku mempergunakan uang ini buat hal yang lebih bermanfaat, kan?"

Arsila Tedja dan putrinya, Sina. Jelas akan memberi fasilitas terbaik di rumah penampungan ini. Sina memberikan tempat nyaman, dan aman. Dan Sila, sengaja mendatangkan Dokter hingga psikolog untuk menangani orang-orang yang memiliki trauma. Mulai dari lansia, anak-anak, sampai remaja seperti Malaka.

"Selain itu, kamu orang kepercayaan Sina. Saat kamu ditunjuk, itu artinya kamu bisa diandalkan," gumam Jenaka.

Kamya mengucapkan terima kasih. Keduanya berbaur bersama orang-orang di rumah penampungan. Jenaka melihat Lembayung di kerumuni oleh anak-anak di lapangan.

Jenaka memilih berdiri di teras sembari memandangi Lembayung. Ini pertama kalinya ia melihat lelaki itu berinteraksi dengan anak-anak.

Seketika, Jenaka merasakan dadanya mencelos. Wajah bahagia, sumringahnya Lembayung ketika bermain dengan anak-anak, menyadarkan Jenaka bahwa ia tidak memiliki kesempatan untuk hamil, melahirkan seorang putra atau putri. Waktunya kurang sedikit lagi, semakin berkurang, dan.... Jenaka hanya tinggal menunggu waktu itu datang.

Lembayung mengarahkan pandangannya kepada Jenaka, melambaikan tangan kanannya sebelum lanjut bermain dengan anak-anak di lapangan. Jenaka tersenyum tipis, membalas lambaian suaminya. Dalam hati ia menangis. Namun ia menahannya agar Lembayung tidak menjadi sedih hanya karena memikirkan dirinya yang akan pergi, selamanya....   










To be continue---

Ayo, Kita Cerai! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang