Pemegang Rahasia Dimar

12.2K 875 38
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


***

Jenaka bahkan masih mengenaka setelan piyamanya. Ia buru-buru pergi ke rumah mertuanya untuk meminta bantuan. Dalam pikiran Jenaka tertuju satu nama—Dozen Wirlana—Ayah mertuanya adalah pengacara hebat. Kasus yang ditangani Ayah mertua Jenaka selalu berhasil, justru akan dipecahkan dengan mudah. Contohnya saja, seperti kasus seorang ART bernama Kamya, beberapa waktu lalu dituduh membunuh teman satu profesinya. Ayah mertua Jenaka dengan cepat membuat Kamya terlepas dari tuduhan tersebut, dan kini telah hidup bebas. 

Jenaka melompat turun, menutup pintu mobil kemudian berlari masuk. Ketika Bi Suti menyapa Jenaka di depan pintu, Jenaka tidak sempat membalasnya. Bi Suti pun kebingungan melihat Jenaka yang kelihatan panik. Lebih heran lagi melihat penampilan menantu majikannya datang dengan penampilan kusut, rambut cokelat terangnya dibiarkan terurai, seolah Jenaka bangun tidur langsung kemari.

Bi Suti lanjut menyapu, ia mengabaikan perasaannya yang menerka-nerka. Ada apa dengan Jenaka, tidak biasanya Jenaka datang dengan penampilan begitu. Ditambah lagi kelihatan panik sekali.

"Ma, Mama!" seru Jenaka menyusuri rumah mertuanya.

Di lantai bawah, Melati keluar dari dapur menyambut kedatangan menantunya. Reaksi Melati ketika melihat Jenaka pertama kali tidak jauh berbeda dengan Bi Suti di luar. Melati menghampiri Jenaka, menanyai menantunya kenapa panik.

"Papa ada di rumah, kan? Papa mana?" tanya Jenaka, mendekap kedua baju Ibu mertuanya tanpa sadar.

"Papa kamu lagi nggak di rumah, udah beberapa hari ada di luar kota," jawab Melati. "Memang ada apa, Jen? Jen...."

Melati mengatupkan bibir. Tiba-tiba saja Jenaka jatuh terduduk di lantai dengan gerakkan putus asa. Jenaka menekuk kedua lutut, melingkarkan tangan, lantas menenggelamkan wajahnya di sana. Seperdetik kemudian, Jenaka tahu-tahu menangis.

Sontak, Melati menjadi khawatir. Wanita itu berjongkok di sebelah Jenaka, mengelus rambut lalu lengan Jenaka secara bergantian. Melati sendiri bingung kenapa Jenaka mendadak menangis.

"Jen, kamu kenapa?" Melati berbisik di telinga Jenaka. "Kamu ada masalah? Kenapa cari Papa? Coba bilang sama Mama dulu."

Jenaka mengangkat wajah, saat itu, Melati terkejut setelah menyadari seberapa pucatnya wajah menantunya. Kantung mata Jenaka menjadi lebih gelap daripada biasanya, seolah Jenaka kurang tidur, atau tidak tidur semalaman?

Jenaka tidak mengatakan apa-apa selain menangis. Ia memeluk Ibu mertuanya, menumpahkan air matanya lagi. Entah sudah berapa banyak Jenaka menangis sejak kematian Nasti.

***

Cuma karena pola pembunuhan Nasti mirip dengan salah satu adegan di dalam novelnya, Dimar dituduh menjadi pelaku pembunuhan Nasti. Temannya sendiri.

Perasaan Dimar masih hancur mengetahui temannya meninggal akibat dibunuh seseorang. Rasa kehilangan itu masih melekat di hati Dimar. Ia masih terbayang sosok Nasti.

Bertahun-tahun mereka berteman, berbagi rasa suka, duka, senang, dan sedih, membuat Dimar begitu menyayangi Nasti. Walau Dimar sering mengeluhkan Nasti yang sering merepotkan dirinya, Dimar tidak sungguhan mengatakannya. Seberapa banyak pun Dimar mengeluh, ia tetap menuruti kemauan Nasti. Permintaan perempuan itu. Kecuali di malam Nasti ditemukan meninggal.

Tidak ada yang tahu betapa dalam rasa bersalah Dimar kepada Nasti. Andai waktu bisa ia putar kembali, Dimar tidak akan mengabaikan pesan dan panggilan Nasti. Malam itu Dimar kelelahan mengerjakan novelnya, lalu jatuh tertidur dalam posisi duduk di ruang kerjanya. Ia mendengar ponselnya berdering, namun Dimar bukan mengangkatnya, Dimar malah mengabaikannya. Dimar lebih memilih tidur daripada menjemput Nasti.

"Mana mungkin saya membunuh teman saya sendiri," ujar Dimar mengepalkan kesepuluh jarinya.

"Kenapa nggak mungkin?" sahut seorang petugas menyodorkan beberapa bukti foto di depa Dimar. "Ini kamu dan pacar kamu, kan? Dan Nasti tahu rahasia tentang kalian."

Lembaran foto itu dijajarkan secara berurut. Entah mendapat foto itu dari mana karena, Dimar tidak pernah mempostingnya di mana pun.

"Bisa jadi karena kamu nggak mau orang lain tahu rahasia kamu ini, makanya kamu bunuh Nasti?" Dimar menahan geram, lelaki di depannya bicara sembarangan. "Kamu ini penulis terkenal, penggemar novel kamu ada di mana-mana. Bisa jadi, kamu menganggap Nasti sebagai ancaman, makanya kamu bunuh teman kamu sendiri."

BRAK!

"ITU SEMUA NGGAK BENAR!"

Amarah Dimar mulai terpancing. Semua yang dikatakan lelaki itu salah! Tidak benar!

Baiklah, Nasti memang tahu rahasia Dimar. Bukan cuma Nasti, Jenaka pun tahu menahu soal Dimar—yang gay. Kedua temannya sudah tahu bahkan sejak bertahun-tahun lalu. Dan Dimar sangat percaya kalau Jenaka dan Nasti adalah teman yang bisa menjaga rahasianya. Terbukti sampai di hari Nasti meninggal, tidak ada satu orang pun tahu tentang rahasia Dimar.

"Silakan kamu mengelak sekarang. Setelah saya temukan bukti yang lebih kuat, saya pastikan kamu membusuk di penjara." Lelaki itu menunjuk Dimar sebelum beranjak dari kursi.

Ditinggalkannya Dimar dalam satu ruangan. Dimar marah, bukan karena ia ketahuan gay. Tapi karena ia dituduh membunuh Nasti!

Dimar berani bersumpah demi Tuhan, ia tidak membunuh Nasti! Tidak!

***

Melati berdiri menghalangi langkah Lembayung. Wanita itu menelpon putranya sore tadi, mengabarkan Jenaka jatuh pingsan di rumahnya. Sementara itu, saat ibunya menelpon, Lembayung harus bertemu klien. Ia harus sedikit lebih sabar. Lembayung duduk dengan tegap, tetap tenang walau sebenarnya Lembayung ingin segera pergi dari sana.

"Coba jelasin ke Mama, sebenarnya ada apa sama Jenaka. Tiba-tiba aja Jenaka kemari sambil nangis, dan cari Papa kamu. Kamu nggak bikin masalah sama Jenaka, kan?" Melati menyilangkan tangan di dada, menatap sengit anak lelakinya.

Lembayung tidak memberi reaksi apa-apa kecuali, "Kita baik-baik aja, Ma. Cuma—"

"Cuma apa?!" Melati agak meninggikan suaranya. "Yakin kalian baik-baik aja? Terakhir kali kamu datang kemari, panggil Jenaka pake teriak-teriak, nyeret dia keluar kayak Jenaka bukan istri kamu aja!"

Lembayung masih mengingat kejadian itu. Ia mengaku kalau ia memang bersalah. Tanpa bertanya lebih dulu, ia malah menuduh Jenaka. Padahal Lembayung tahu, Jenaka bukan tipikal orang suka berbuat kasar.

"Temannya Jenaka dua hari lalu ditemukan meninggal, Ma. Di apartemen Jenaka," terang Lembayung, suaranya lirih, kemudian mengembuskan napas. "Dan salah satu teman Jenaka yang lain dituduh jadi pelakunya. Makanya Jenaka cari Papa."

Melati sontak terdiam, ia menjadi sangat terkejut. Pantas saja Jenaka mencari Ayah mertuanya. Dari penjelasan Lembayung, Jenaka yakin kalau Dimar bukan pelaku pembunuhan Nasti. Jenaka pikir, satu-satunya orang yang bisa dipercaya menolong Dimar adalah Dozen Wirlana, Ayah Lembayung sekaligus mertua Jenaka.

Melati menghela napas panjang. Ia tidak tega melihat Jenaka begitu sedih, bahkan sampai jatuh pingsan. Melati tidak tahu ternyata Jenaka mengalami hal seperti ini jika tidak diberitahu Lembayung.

"Kamu temui Jenaka di kamar kamu. Mama udah panggil Dokter buat periksa kondisi Jenaka. Jangan lupa bujuk Jenaka buat makan dan minum vitamin, ya." Melati mengusap lengan anak lelakinya. Pergi ke dapur menyiapkan makanan untuk menantunya.  











To be continue---

Ayo, Kita Cerai! Where stories live. Discover now