Lupakan, Kita Cerai!

14.5K 1.1K 51
                                    

BRAK!

"Jenaka!" teriak Lembayung, menggebrak pintu kamar istrinya. 

Tubuh Jenaka merosot di lantai, menekuk kedua kakinya. "NGGAK USAH BERISIK! LUPAIN AJA PERJANJIAN KITA SATU BULAN ITU! KITA CERAI!"

Jenaka meminta Lembayung bertahan satu bulan lagi karena ia ingin membuat kenangan indah bersama suaminya sebelum pergi. Biarpun Lembayung melakukannya dengan setengah hati, Jenaka tidak apa-apa. Jenaka akan memaklumi karena sedari awal mereka menikah, Lembayung tidak mencintainya.

Jenaka tidak membuat permintaan yang sulit. Lembayung cukup menghabiskan waktu satu bulannya bersama Jenaka. Menjadi suami baik, seperti suami-suami di luaran sana hanya untuk satu bulan. Satu bulan saja! Tapi baru beberapa hari perjanjian itu dimulai, Lembayung sudah mengecewakan dirinya.

Di mana-mana cinta sepihah selalu melelahkan. Jenaka tahu susahnya berjuang agar dilihat, diperhatikan, namun usaha Jenaka hanya akan sia-sia jika orang yang ia cintai, tidak pernah mencintainya.

Jenaka mundur saja. Jenaka bisa mencari kebahagiaan di sisa umurnya dari berbagai hal. Tidak harus berada di sisi Lembayung, atau memaksa Lembayung ada di sampingnya. Jenaka sadar, sesuatu yang dipaksa tidak akan membuatnya bahagia selain sedih, kecewa, Jenaka merasa sakit hati.

Sedangkan di luar kamar Jenaka, Lembayung berdiri, tertegun, mendengar suara tangis istrinya di dalam kamar. Lembayung menghela napas panjang, tangan kanannya turun setelah menggedor pintu, tapi Jenaka tidak berniat membukakan untuknya. Justru yang keluar dari mulut Jenaka adalah, ucapan perpisahan. Jenaka setuju untuk bercerai lebih cepat.

***

Lembayung berharap ia bisa melihat Jenaka di meja makan saat pagi hari. Jenaka tipikal orang yang tidak bisa melewatkan sarapan karena memiliki riwayat sakit lambung.

Jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Lembayung bangun, mencuci muka lebih dulu sebelum turun ke lantai bawah. Ia sempat melewati kamar Jenaka, menatap pintu itu sebentar. Lembayung mendekati pintu, memeriksa suara di dalam sana. Jenaka sudah bangun atau belum.

Tanpa sengaja Lembayung mendorong pintu kamar Jenaka. Seketika ia melihat pemandangan kamar istrinya yang rapi, wangi, tapi sosok Jenaka tidak ada. Lembayung pikir, Jenaka pasti sudah bangun lebih dulu.

Di meja makan tidak ada siapa pun. Jenaka tidak ada, cuma ada beberapa menu di atas meja, namun tidak ada yang menghuni satu orang pun di sana. Lembayung melihat Bi Sumi keluar dari dapur, Lembayung segera memanggil asisten rumah tangganya.

"Bi Sumi lihat Jenaka? Aku lihat di kamarnya nggak ada," tanya Lembayung menengok ke anak tangga sepintas.

"Oh, Bu Jenaka pagi-pagi udah keluar, Pak. Dijemput sama Pak Dimar," jawab Bi Sumi.

"Dimar? Ngapain dia ke sini pagi-pagi," gumam Lembayung.

Dimar, salah satu teman baik Jenaka yang sering Lembayung lihat berkunjung ke rumahnya. Selain Dimar, ada juga Nasti. Mereka bertiga berteman sejak masa kuliah katanya. Dimar satu-satunya teman lelaki Jenaka yang Lembayung ketahui.

Lembayung tahu seberapa dekat Jenaka dengan Dimar. Mereka bercanda, ngobrol banyak, mungkin Lembayung rasa mereka tidak akan kehabisan bahan obrolan. Setiap kali Dimar dan Nasti kemari, pasti rumahnya selalu ramai. Karena selain Jenaka yang berisik, Nasti tidak kalah berisiknya.

"Katanya Bu Jenaka minta dianterin sama Pak Dimar ke rumah sakit, Pak," sahut Bi Sumi akhirnya. Lembayung menjadi diam setelah Bi Sumi menyebut nama Dimar.

"Siapa yang sakit?" tanya Lembayung sekali lagi.

"Saya dengar dari Pak Dimar, sih, semalam Bu Jenaka diserempet sama mobil. Tapi nggak pergi ke rumah sakit. Pulang gitu aja."

Lembayung menaikan sebelah alisnya. Jenaka diseremet mobil? Apa itu alasan Jenaka pulang sambil menangis? Kalau pulang ke rumah saja bisa sendiri, padahal baru diserempet, kenapa malah marah-marah pada Lembayung seperti semalam? Jadi, kesalahannya bukan pada Lembayung. Jenaka saja yang manja.

***

Jenaka teringat kejadian semalam. Seberapa menyedihkan dirinya. Memutuskan pulang dengan berjalan kaki karena Lembayung tidak muncul juga. Padahal sudah larut malam. Jenaka pikir, mungkin Lembayung memang berniat membuat Jenaka keluar dari rumah agar tidak mengganggu lelaki itu lagi.

Di sepanjang jalan, Jenaka menundukkan kepala sembari menenteng tas putihnya. Olokan, ejekan, suara tawa meremehkan itu masih mampir jelas di telinga Jenaka. Di sana Jenaka tidak memiliki siapa-siapa yang akan sukarela membela dirinya. Justru yang terjadi adalah, mereka sangat kompak mempermalukan Jenaka. Jenaka merapatkan bibir, menahan air matanya mati-matian agar tidak semakin dipermalukan lagi.

Oh, ayolah, Jenaka sudah dua puluh enam tahun. Jenaka sudah dewasa, ia yakin bisa lebih kuat dari dirinya saat masih remaja dulu. Kalau Jenaka mau, Jenaka bisa membela dirinya. Tapi, melihat jumlah mereka lebih banyak, Jenaka urung, ia memilih diam dan mendengar tawa menjengkelkan itu.

"Akh," erang Jenaka. Kepalanya terangkat, menatap perawat tengah mengobati luka di lutut kanannya.

Di dekat pintu, Dimar mengawasi Jenaka. Perempuan itu terus meringis saat lukanya diobati oleh perawat. Dimar berdecak, entah ini cerita ke berapa Jenaka diabaikan oleh Lembayung.

Perawat selesai mengobati luka Jenaka, lantas pamit keluar sebentar. Dimar menghampiri Jenaka. Perempuan itu agak membungkukkan punggung meniup-niup lukanya. Padahal semalam tidak terasa apa-apa. Tapi tadi pagi, seluruh badan Jenaka terasa remuk. Ia terbangun dengan kondisi badan yang ngilu dan perih.

"Lo jadi pergi ke acara reuni semalam?" Dimar berdiri di samping ranjang, menatap Jenaka, datar.

"Iya," jawab Jenaka, sengaja menunduk menghindari tatapan dingin Dimar.

"Sama Lembayung?" Dimar bertanya lagi. Namun kali ini Jenaka sengaja tidak menjawab. "Okay, kalau dia nggak pergi sama lo. Gue anggap dia sibuk. Tapi, masa dia nggak punya inisiatif bawa lo ke Dokter, atau minimal klinik terdekat. Se-nggak peduli itu dia sama lo?"

Jenaka menegakkan badan, menengokkan kepala ke samping balas menatap Dimar. "Gue yang nggak mau."

"Nggak mau, atau lo berusaha lagi lindungin dia?" Dimar menjilat bawah bibirnya. "Dari hal kecil kayak gini aja dia nggak peduli sama lo. Gimana kalau terjadi sesuatu yang lebih parah dari ini? Lo diserempet mobil lho, Jen! Mata dia buta, atau memang nggak punya belas kasih sama istri sendiri?"

Tangan kanan Jenaka secara otomatis mengusap pipinya. Mendengar Dimar menyudutkan Lembayung, Jenaka ingin membela, tapi yang dikatakan Dimar tidak ada yang salah.

Saat Jenaka menyebrangi jalan, tiba-tiba saja turun hujan. Sangat deras. Jenaka yang sudah lelah ingin pulang, mempercepat langkahnya. Namun karena terlalu terburu-buru menyebrang, sebuah mobil tanpa sengaja menyerempet Jenaka sampai ia jatuh terduduk di aspal. Seketika Jenaka melampiaskan kekesalannya, kekecewaannya, dengan menangis sembari menatap kedua lututnya berdarah. Si pengendara mobil keluar, lelaki itu hendak bertanggungjawab dengan mengajak Jenaka ke sebuah klinik terdekat. Tapi bodohnya Jenaka, ia menolak, sambil menangis lalu pergi dengan kedua kaki yang berjalan pincang.

"Apa yang lo harapkan dari Lembayung, Jen?" gumam Dimar, sedih. "Masa depan lo masih panjang, Jen. Lo berhak bahagia."

Jenaka tersenyum masam. "Gue nggak punya masa depan, Mar," gumamnya. "Gue nggak punya banyak waktu."

"Maksud lo apa, Jen?" tanya Dimar menyipitkan mata.

"JEN! MANA JENAKA! LO DI MANA?! ASTAGA! LO BAIK-BAIK AJA, JEN? EMANG KURANG AJAR SI GAYUNG! MINTA DIHAJAR DIA!"

Nasti menerobos masuk sembari berteriak menyumpahi Lembayung. Entah tahu dari mana Jenaka ada di sini. Tiba-tiba saja Nasti muncul, dan membuat kehebohan.

"YUK, LAH, JEN, CARI COWOK AJA KITA! LEMBAYUNG EMANG LELAKI NGGAK GUNA! KASIHAN BANGET TEMAN GUE YANG CANTIK DI SIA-SIAIN." Nasti menghambur memeluk Jenaka, tapi Jenaka terlanjur pusing mendengar teriakan Nasti.  














To be continue---

Ayo, Kita Cerai! Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ