Janji Lembayung

10.4K 833 38
                                    

Aufal mencengkram pergelangan tangan Jenaka, menahan perempuan itu akan pergi. Kejadian itu disaksikan oleh banyak pasang mata. Mereka menebak-nebak status Jenaka dan Aufal. Sebagian dari mereka mengira Jenaka adalah pacar Aufal. Bukankah sering terjadi sepasang kekasih bertengkar di tempat umum? 

"Gue nggak akan lepasin sebelum lo minta maaf!" Aufal mengangkat tangan kanan Jenaka agak tinggi. Ia tidak peduli walau Jenaka terlihat kesakitan.

"Lo yang salah, lo yang nyamperin gue dulu dan cari masalah, kenapa gue yang minta maaf sama lo?" balas Jenaka, menarik tangannya susah payah. "Bahkan lo nggak pernah meminta maaf setelah mempermalukan gue waktu sekolah dulu!"

Tidak ada kata maaf dari Aufal setelah Jenaka dipermalukan. Sehari setelah Aufal menolak Jenaka di depan semua murid, Aufal dengan sengaja menggandeng siswi, bergonta-ganti setiap hari, sengaja memamerkannya di depan Jenaka. Alhasil, Jenaka mendapat banyak sindiran dari banyak teman-teman sekolahnya. Jenaka dibilang tidak tahu malu, tidak tahu diri, tidak berkaca—dan dianggap terlalu berani menyatakan cinta kepada Pangeran di sekolah mereka.

Jenaka menghabiskan hari-hari di masa SMA-nya dengan banyak tekanan, ia harus bertahan sampai ia lulus agar tidak merepotkan ayahnya. Walau Jenaka sering menangis diam-diam di dalam toilet sekolah di saat yang lain sedang istirahat di kantin, Jenaka sembunyi di salah satu bilik toilet.

Pernah ada satu kejadian, Jenaka tidak bisa keluar dari kamar mandi. Jenaka menggebrak-gebrak pintu toilet, berteriak sekencang mungkin. Beruntung, ada petugas kebersihan yang mendengar suara Jenaka. Akhirnya Jenaka bisa keluar. Melewati lorong sembari menahan tangis.

BUGH!

Jenaka tidak kehabisan akal. Jika Jenaka tidak bisa menggunakan tangannya menghajar Aufal, maka Jenaka terpaksa menggunakan kakinya. Ditendangnya kedua kaki Aufal sangat kuat. Secara otomatis Aufal melepas tangan Jenaka. Merasa kurang puas memberi pelajaran, Jenaka melampiaskan kekesalannya dengan menghantamkan tasnya ke punggung lelaki itu. Aufal mengerang, menunjuk Jenaka dengan sumpah serapahnya.

Dan yang terakhir, Jenaka mendorong punggung Aufal sampai jatuh ke lantai. Jenaka menatap Aufal tajam. Ia memperingatkan Aufal lewat tatapan matanya. Jenaka mengangkat tangan kanannya, lantas mengacungkan jari tengahnya di depan wajah Aufal sebelum pergi.

Di mata orang-orang yang menyaksikan, mungkin Jenaka terlihat pemberani, dan keren. Namun, begitu Jenaka berada di luar restoran, hampir saja Jenaka limbung. Dengan cepat ia berpegangan ke dinding, membungkukkan punggung sembari meletakkan tangan kanannya ke dada.

Jenaka tidak menyangka ia akan seberani itu melawan Aufal—sendirian. Ia menatap kedua tangannya yang gemetaran. Antara menahan napas, sekaligus senang. Baru pertama kali ia bisa melampiaskan kemarahannya pada seseorang seperti tadi. Dari terakhir yang terjadi di acara reuni, Jenaka memilih diam, membiarkan dirinya permalukan. Tapi hari ini, Jenaka berhasil membuat Aufal mengerang kesakitan karena dipukul olehnya!

***

Kata Bi Sumi, Jenaka pulang ke rumah—tiga puluh menit setelah berpamitan pergi ke luar. Bi Sumi bertanya apa ada barang yang ketinggalan. Karena baru saja Jenaka pergi, lho. Tapi kembali lebih cepat dari perkiraannya.

Lembayung datang agak terlambat dari waktu yang ia janjikan kepada Jenaka. Ia mencoba menghubungi nomor istrinya, tapi tidak satu pun panggilannya diangkat. Lembayung mengirim pesan, tidak juga dibaca. Akhirnya Lembayung memilih kembali ke kantor setelah ia menelpon ke rumahnya. Lembayung bisa tenang Jenaka sudah pulang.

"Tadi Bu Jenaka memang sempat pergi, Pak. Tapi nggak lama, Bu Jenaka kembali ke rumah." Kira-kira begitu jawaban yang diberikan Bi Sumi ketika Lembayung menelpon.

Sore harinya Lembayung pulang. Ia masuk kamar dan melihat Jenaka tidur di ranjang. Tampak nyenyak, sampai Lembayung membuka pintu kamar, Jenaka tetap tidur, sama sekali tidak terganggu.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Lembayung merebahkan setengah badannya di samping Jenaka. Jenaka tidur dengan posisi memunggungi Lembayung.

Sembari menemani Jenaka tidur, Lembayung menyibukkan diri dengan mempelajari kasus yang ia tangani. Ia mendengar dengkuran halus Jenaka, meliriknya sekilas, kemudian menyibukkan diri lagi.

Tidak terasa, jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam lewat, Lembayung menutup laptopnya, menyimpan benda itu ke atas meja sebelum ikut berbaring di samping Jenaka.

Sebelah tangan Lembayung menopang kepalanya sendiri. Ia menundukkan wajah, sesekali merapikan selimut yang dipakai istrinya. Lembayung menepuk bahu Jenaka, lembut.

Jenaka menggerakkan kepala, sepasang matanya perlahan terbuka, menoleh ke belakang sebentar sebelum ia kembali ke posisi semula.

Ia merapatkan selimut, membawa kedua tangannya di depan dada memegangi ujung selimut. "Pasti mau tanya kenapa aku nggak datang, kan," gumam Jenaka, parau. "Tadi aku datang. Tapi aku pergi setelah itu."

"Kenapa? Nggak cocok sama menu-nya?" tanya Lembayung.

Jenaka mendecakkan lidah. Matanya kembali memejam, tapi bibirnya terus bergerak. "Aku aja belum sempat icip makanan sama minuman di sana."

"Terus kenapa? Nggak mungkin nggak ada alasannya, kan?"

"Udah nggak mood aja, kamu lama banget datangnya!" seru Jenaka. Kemudian, ia menengok untuk kedua kalinya. "Tapi kamu beneran datang, kan?"

Lembayung mengangguk. "Aku memang telat. Tapi aku beneran datang. Kamu mau periksa CCTV di sana? Supaya lebih meyakinkan?"

Jenaka membalikkan badan, menatap Lembayung, sengit. "Kamu pikir aku seberlebihan itu? Aku kan, cuma tanya. Kamu tinggal jawab."

Tangan Lembayung yang sebelumnya menopang kepalanya, kini terulur, menyelipkannya di bawah leher Jenaka. Secara spontan Jenaka mengangkat kepalanya, membiarkan Lembayung menjadikan lengan lelaki itu sebagai bantal yang menopang kepala Jenaka.

"Aku minta maaf. Aku telat datang tadi," bisik Lembayung. Tangannya yang bebas menepuk bahu Jenaka. "Di lain waktu, aku usahakan datang lebih awal dari kamu."

"Aku nggak mau bikin janji lagi sama kamu. Malah bikin capek nunggu. Mending aku tidur di rumah," gerutu Jenaka. "Kalau kamu ngajak aku makan siang, mending kamu pulang ke rumah aja. Jadi aku nggak perlu dandan, keluar rumah panas-panasan."

"Padahal aku mau ajak kamu nonton ke bioskop," ujar Lembayung.

"Nonton?" gumam Jenaka, mengerutkan dahi.

"Iya, kamu bebas mau nonton film apa pun." Lembayung menaikkan selimut Jenaka. "Gimana? Kali ini kamu mau? Kita perginya bareng supaya kamu yakin."

***

Kali ini Lembayung menepati janjinya kepada Jenaka. Sebelumnya Jenaka telah menanti Lembayung. Jika Lembayung membuatnya kecewa lagi, seumur hidup Jenaka, tidak akan pernah mau diajak pergi ke mana pun oleh Lembayung!

Mereka pergi ke bioskop bersama-sama. Mereka berangkat dari rumah pukul setengah tujuh malam. Jenaka diam-diam melirik Lembayung. Dari di dalam mobil sampai mereka berjalan menuju ke bioskop tempat mereka menonton.

Ini Lembayung sungguhan tidak, sih? Jenaka jadi was-was. Takutnya Lembayung punya saudara kembar seperti Sina. Siapa tahu kan, Lembayung yang ada bersamanya sekarang itu kembarannya. Wajahnya saja yang sama, tapi tingkah lakunya berbeda. Mirip seperti Sina dan saudara kembarnya—yang memiliki kepribadian sangat kontras.

"Jen." Sudah kedua kalinya Lembayung memanggil istrinya. Tapi Jenaka malah melamun. "Jenaka."

Baru setelah itu Jenaka tersadar. Ia agak terkejut mendengar suara Lembayung. "Eh, apa?" Jenaka menguasai dirinya setelah melamun cukup lama.

"Aku ke toilet, kamu masuk duluan aja nggak apa-apa. Nanti aku susul," ujar Lembayung.

"Iya, jangan lama-lama." Jenaka membawa pop corn, dan dua minuman di tangannya. Ia berbaris bersama penonton lain untuk masuk ke dalam teater.

Mereka berpencar, Jenaka ke teater, dan Lembayung pergi ke toilet. Ia melewati sebuah lorong, hendak pergi ke arah kiri tempat toilet lelaki berada. Namun, sebelum Lembayung belok ke kiri, ia berpapasan dengan Alisa—yang baru saja keluar dari toilet perempuan.  












To be continue---

Ayo, Kita Cerai! Where stories live. Discover now