09. Luka

31.1K 3.1K 50
                                    

“Tadi Althaia diganggu lagi sama Dylan.”

Fuck. Lo bisa jaga dia gak sih? Lo lupa ancaman yang gue bilang kemarin?” maki Max dengan emosi. Ia langsung memutuskan panggilan dengan Ilyas begitu saja. Tangannya menyugar rambut ke belakang sebagai bentuk pelampiasan kekesalan. Ia sudah mengetahui siapa itu Dylan. Berkat mata-mata di IHS membuatnya tahu kehidupan Althaia selama di sekolahan.

Hembusan nafas keluar dari mulutnya begitu mendapati handphonenya kembali berdering. Dan kali ini bukanlah Ilyas yang menghubunginya, melainkan sang kakek.

Dengan terpaksa, Max mengangkat panggilan tersebut dengan malas.

“Halo.”

“Cucu durhaka!”

Max menjauhkan handphone dari telinganya begitu mendengar umpatan yang dilayangkan kakeknya.

“Pulang kamu! Atau semua fasilitas yang kakek berikan akan kakek cabut!”

“Max lagi sekolah, gak mungkin Max bolos.”

“Tidak usah banyak alasan! Kakek tahu kamu tidak di sekolahan saat ini.”

Kini giliran Max yang mengumpati kakeknya dalam hati. Ia lupa jika kakeknya juga memiliki mata-mata di mana-mana. Tentu tak heran jika kakeknya tahu jika dirinya tidak berangkat sekolah, melainkan pergi membolos.

“Ya ya ya,” jawab Max begitu mendengar omelan kakeknya lagi.

Max beranjak keluar dari markas tempatnya membolos. Ia memakai jaket untuk menutupi tubuhnya yang hanya dibalut kaos tipis berwarna putih.

Di markas saat ini tak ada siapa-siapa selain dirinya. Sebab sudah dipastikan para anggota Phoenix sedang berada di sekolahan masing-masing. Berbeda dengan Maximilian Archard yang lebih banyak menghabiskan waktunya di markas daripada di sekolah ataupun rumah.

Tak butuh waktu lama untuk Max sampai di depan rumah mewah yang tak lain adalah kediamannya. Ia memarkirkan motornya asal karena tahu satpam akan langsung mengambil alih.

Kakinya melangkah memasuki rumah besar tersebut yang sayangnya nampak sepi. Kedatangan Max di sambut oleh kakeknya yang sudah berdiri sambil berkacak pinggang.

“Ingat jalan pulang?” sarkas Anggara, kakek Max dengan tajamnya.

Max memutar bola matanya malas. “Kalau gak ingat jalan pulang, gak mungkin Max ada di sini,” balasnya santai.

Anggara menggeram marah. “Mau jadi apa kamu, Max? Gak pernah berangkat ke sekolah, kerjaannya keluyuran sana sini sama geng gak jelasmu itu!”

“Geng Phoenix bukan geng gak jelas. Justru di sana Max bisa merasakan yang namanya punya keluarga,” balas Max dengan dingin.

Kini Anggara dibuat terdiam oleh perkataan Max. Jika menyangkut tentang keluarga, Anggara tak akan bisa berkutip.

“Dan lagi, tolong urus kepindahan Max ke IHS. Bagaimanapun caranya, Max mau pindah ke IHS.”

“Kamu gila?! IHS bukan sekolah sembarangan. Sulit untuk memasuki IHS dengan otakmu yang tak seberapa itu!”

Max mengibaskan tangannya tak peduli. “Ada uang, kan? Semua bisa mudah dengan uang.”

Setelah itu, Max berlalu dari hadapan kakeknya menuju kamar. Meninggalkan Anggara yang menggeram penuh kekesalan pada cucu satu-satunya itu yang bersikap seenaknya. Sifatnya sama persis dengan Papa Max.

[Hello Max]

Malam harinya, Max memutuskan untuk berdiam diri di kamarnya. Matanya memang terpejam, namun pikirannya berkelana kemana-mana. Salah satunya adalah memikirkan Althaia.

Hello MaxWhere stories live. Discover now