30. Firasat

10.7K 1K 2
                                    

Sepulang dari dermaga, Max mengantar Althaia ke rumah. Kedua insan yang tengah berbahagia itu tak henti-henti menebar senyum sepanjang perjalanan. Tak jarang Max melontarkan candaan yang membuat Althaia tertawa tanpa beban.

Motor sport milik Max sampai di depan gerbang rumah Althaia.

“Gak mau mampir dulu?”

“Gak usah, udah malam. Aku langsung pulang aja.”

“Oke. Hati-hati.”

“Salam buat Mama Papa.”

“Nanti aku salamin.”

Setelah memastikan motor Max hilang dari pandangannya, Althaia langsung berlari kecil menuju rumahnya. Tangannya menggapai gagang pintu untuk dibuka.

Kedatangan Althaia disambut oleh Mamanya yang tengah menyiapkan makan malam. Althaia meringis pelan karena lupa mengabari Mamanya jika ia makan di luar dengan Max.

Althaia berusaha menelan makanannya dengan susah payah. Meskipun perutnya terasa bergejolak. Sebisa mungkin ia menutupi ekspresinya dengan wajah tenang.

“Cincin baru?” tanya Abraham dengan nada menyelidik.

Tubuh Althaia tersentak. Wajahnya kontan merona menyadari tatapan penuh tanya dari Mama dan Papanya.

“Dikasih Max,” ucap Althaia dengan nada lirih.

Jawaban Althaia membuat kedua orang tuanya menatap serius ke arah gadis itu.

“Maksud kamu? Semacam lamaran?”

Althaia mengangguk kaku. Jantungnya berdegup kencang karena takut jika kedua orang tuanya akan marah. Biar bagaimanapun, usianya belum menginjak angka ideal untuk menikah.

[Hello Max]

Althaia merebahkan tubuhnya di ranjang dengan kasar. Helaan nafas panjang keluar dari mulutnya. Tangannya mengacak rambut dengan kasar.

Deringan ponsel membuatnya beranjak menuju sling bag yang diletakannya di meja belajar. Terpampang nama Max sebagai penelepon.

“Halo.”

“Hai. Udah mau tidur? Aku ganggu gak?”

“Ah, gak. Aku belum mau tidur. Kenapa?”

“Aku kangen.”

“Baru beberapa jam kita pisah.”

“Gak tahu ya, rasanya udah lama kita gak ketemu.”

Althaia memutar bola matanya jengah. “Ada-ada aja kamu.”

“Jadi gak sabar buat nikahin kamu, terus aku bisa lihat kamu setiap hari dan pasti sepuasnya.”

Tubuh Althaia menegang. Ia menatap ponsel di genggamannya dengan wajah kaku.

“Halo Althaia. Kamu masih di sana kan?”

“Iya. Ehm, Max.”

“Ada apa? Kenapa suara kamu aneh. Ada yang mau kamu omongin sama aku?”

“Ada, tapi janji ya jangan marah?”

“Apa dulu, aku gak bisa janji buat gak marah.”

“Ya udah gak jadi.”

“Kenapa sih? Aku usahakan untuk gak marah."

“Tentang tadi.”

Terdengar jeda sebelum Althaia meneruskan ucapannya.

“Aku sangat bahagia kamu punya niat serius untuk mengikat aku. Tapi, aku usiaku masih sangat muda untuk menikah. Aku belum menyelesaikan kuliahku dan aku masih memiliki mimpi-mimpi yang belum terwujud. Kamu gak apa-apa kan nunggu aku sampai lulus nanti?”

Hello MaxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang