13. Bertahan

23.6K 2.4K 93
                                    

“Apa yang harus Papa lakukan supaya kamu mau memaafkan Papa, nak?”

“Pergi!”

“Max, Papa benar-benar minta maaf.”

Max berdecih sinis. Ia muak melihat pria paruh baya yang sayangnya adalah Papanya tersebut. Dan entah bagaimana bisa, Papanya bisa mengetahui letak apartment miliknya ini.

“Maaf gak akan pernah bisa mengembalikan Mama!” teriak Max penuh amarah. Nafas laki-laki itu memburu saat kilasan masa lalu terlintas di pikirannya. Teriakan kesakitan, darah, dan juga air mata Mamanya masih terus membekas di ingatan Max sampai saat ini.

“Ini semua sudah takdirnya, nak.”

“Bagi Max kematian Mama karena anak sialanmu itu,” desisnya tajam.

Dan tanpa keduanya sadari, orang yang dimaksud oleh Max menyaksikan semuanya. Sejak kedatangan Darion, Papa Max beberapa menit yang lalu.

“Matthew gak ada sangkut pautnya sama kematian Mamamu,” balas Darion pelan. Ia cukup tersinggung karena Matthew yang tak lain adalah adik Max disalahkan atas kematian Angelina.

“Terserah! Silahkan keluar dan jangan pernah temui Max lagi.”

Max langsung menutup pintu apartment miliknya tanpa menunggu persetujuan sang Papa. Laki-laki itu melangkah menuju ranjang dan langsung menjatuhkan diri begitu saja.

Sementara di luar apartment Max, Darion menghela nafas panjang. Kepalanya mendadak pening menghadapi anak laki-lakinya yang keras kepala.

Merasa usahanya sia-sia, Darion memutuskan untuk pulang. Namun, langkahnya terhenti kala melihat seorang laki-laki yang memiliki wajah mirip dengan mendiang istrinya nampak berdiri dengan senyum sendu. Sejenak dunia Darion terhenti melihat tatapan terluka milik Matthew yang mampu menggores hatinya.

“Matthew, sejak kapan di sini?”

Matthew tak menjawab pertanyaan Papanya, hanya senyum tipis yang ia berikan sebagai balasan. Ia sibuk mengontrol perasaannya yang campur aduk.

“Semua akan baik-baik saja, nak. Kakakmu hanya perlu waktu untuk bisa berdamai dengan masa lalu. Papa yakin kakakmu mau menganggapmu sebagai saudara kandungnya.”

Darion mengerti perasaan anak bungsunya tersebut. Ia bergegas membawa tubuh Matthew ke dalam pelukannya. Hatinya merasa sangat terluka karena remaja yang tak tahu apa-apa seperti Matthew harus menjadi sasaran kebencian kakaknya.

Sejak kecil, Matthew bahkan tak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu yang melahirkannya. Ditambah lagi kebencian yang terang-terangan ditunjukkan oleh Max pada Matthew. Semakin membuat hidup remaja tersebut semakin tersiksa. Hanya Papanya lah yang selalu ada untuk Matthew.

[Hello Max]

Seseorang pernah mengatakan jika ingin hidup bahagia dan tenang, maka berdamailah dengan masa lalu.

Namun, rasanya Max ingin menyangkal semua perkataan itu. Bagaimana bisa ia berdamai dengan masa lalu yang membuat hidupnya benar-benar hancur seperti ini?

Ia bukan tipe pemaaf yang bisa memaafkan kesalahan seseorang meskipun sudah dijahati sampai berkali-kali. Max juga bukan seorang baik hati yang mau menerima kembali seseorang yang sudah menyakitinya.

“Sialan gue gak kuat!” maki Max saat pikirannya kacau. Ia menjambak rambutnya cukup kencang. Namun, Max tak merasa kesakitan sama sekali.

Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, namun matanya tak kunjung bisa terpejam. Max menggerutu dalam hati.

Bukannya tertidur dengan tenang, Max justru dihantui bayang-bayang masa lalu yang berhasil mengguncang mentalnya.

Hello MaxWhere stories live. Discover now